Rabu, 21 November 2012

Montessori Di Mata Saya (Bag 3)


  • Penerapan dari metoda tokoh-tokoh terdahulu yang mempengaruhi Montessori seperti :

-          Jean Itard (1775-1838) àEducation of Sense

Saya percaya bahwa masa sensitif anak untuk belajar sesuatu, berbeda setiap anaknya dan dapat menjadi berkurang esensinya ketika masa sensitif itu telah lewat (atau bahkan akan kurang berhasil)

-          Edouard Seguin (1812-1880) àEducation Through Movement

Anak-anak memiliki energi yang luar biasa untuk bergerak dan tidak pernah terlihat lelah, karena itu adalah perioda sensitifnya mereka. Ketika mereka bergerak, saat itulah otak-otak mereka bekerja dan merupakan waktu yang tepat untuk mempelajari sesuatu.

Saya coba ilustrasikan sebuah contoh :

Di suatu sekolah sedang belajar tentang ‘IKAN’. Menurut saya, anak-anak akan lebih senang dan materi akan lebih cepat ditangkap ketika mereka bersama-sama masuk ke dalam kolam ikan dan mencoba menangkap ikan sambil mempelajari banyak hal seperti tempat hidupnya, bagian tubuhnya, caranya berenang, tekstur kulitnya, sifat air dan lain-lain. Selain itu mereka pun jadi mendapat pengalaman bagaimana caranya berjalan di atas air, membungkuk, menangkap, menjaga keseimbangan, dan lain-lain. Mereka akan berteriak kegirangan, menyebut apapun yang mereka lihat dan rasakan (kemampuan verbal terlatih), saling memanggil temannya, bermain cipratan-cipratan air dengan teman-temannya (social aspect), sentuhan pada macam-macam tekstur (sensorial aspect) , dan lain-lain. Banyak hal yang mereka pelajari dan begitu banyak pengalaman yang didapat melalui gerakan. Tentu tidak sesimpel judul materinya.

-          Jean Jacques Rousseau (1712-1778) àEducation Through Sense

Inilah salah satu pernyataan yang saya sepakati juga, bahwa anak belajar melalui seluruh inderanya. Di sinilah letak dimana anak-anak benar-benar harus dirangsang dan dilatih terus inderanya agar berkembang optimal. Indera yang optimal akan sangat membantu anak dalam mempelajari segala sesuatunya. Hal ini tertuang dengan jelas dan lengkap pada alat-alat edukatif Montessori dalam area Sensorial. Indera adalah ‘jendela’ untuk belajar.

Sebagai contoh, kita tidak akan dapat membaca bila indera penglihatan untuk mengenal simbol huruf, telinga untuk mendengar bunyi huruf, dan tangan untuk merasakan arah bentuk simbol huruf semuanya tidak terlatih dan berfungsi dengan baik.

Sampai detil Maria Montessori menciptakan alat-alatnya untuk keperluan itu dan disusun sedemikian rupa dari yang konkrit hingga abstrak dan dari yang mempunyai tujuan secara tak langsung sampai yang mempunyai tujuan secara langsung (yaitu dari mulai latihan-latihan di area Keterampilan Hidup, lalu area Stimuli Indera dengan latihan sound boxes, touch board, shape and dimension tools. Di area Bahasa dengan latihan metal insets design, sand paper alphabet hingga Large Moveable Alphabet serta pink series).

Metoda Montessori pun menekankan bahwa ‘process is more important than result’. Artinya anak tidak diajarkan sesuatu yang berbau instant, tapi lebih dari itu pemahaman konsep lebih diutamakan. Saya percaya bahwa ketika konsep dasar telah dikuasai, seseorang akan lebih mudah untuk menyelesaikan masalah yang lebih rumit sekalipun. Saya pun setuju dengan pelaksanaan metoda ilmu pengetahuan terapan yang  sudah mulai dilakukan beberapa sekolah, sepertinya lebih efektif untuk ditangkap oleh para siswanya

-          Johann Pestalozzi

Kelanjutan dari “Education Through Sense” yang dilatih dan dikembangkan dengan tahapan dari yang sederhana ke yang lebih kompleks.

Sebagai contoh penataan alat di area Exercise for Practical Life, akan kita temukan bahwa yang diperkenalkan dan disimpan paling awal adalah menuang biji besar, biji kecil, lalu air. Menunjukkan bahwa anak akan lebih mudah dan tidak tumpah-tumpah dalam menuangkan biji-biji yang relatif mudah dikendalikan daripada menuangkan air (untuk tingkatan yang lebih sulit).

Penggunaan ‘didactic material’ dalam Metoda Montessori seperti yang telah saya ulas sebelumnya pada bagian tokoh-tokoh yang berpengaruh, memang melengkapi ‘kesempurnaan metoda Montessori’, namun ada hal lain yang lebih penting yang ingin penulis tuang dalam essai ini. Bahwa sekali lagi :

The materials are not magic and do not, by themselves, provide an environment responsive to the needs of the young child. The Montessori philosophy is the most important ingredient in this method, with the materials serving only as tools for its implementation

(Elizabeth G. Hainstock, 1986)

Jadi, apapun yang dipertentangkan oleh para pengkritik Montessori sepertinya saya mulai bisa berbicara lebih banyak bahwa kekuatan metoda ini ada pada filosofinya dan kelebihannya ada pada alat-alatnya.

Seperti kita ketahui, metoda ini kebanyakan dikritik pada bagian alat-alatnya, dinamika sosial, kreativitas, fantasi, masalah adaptasi di sekolah konvensional dan metoda yang sudah kuno. Sebagai orang yang pernah mempunyai pengalaman sendiri terjun dan berkecimpung dalam metoda ini dan sudah mempunyai cukup banyak ‘lulusan pra sekolah Montessori’, semuanya dapat terjawab dengan jelas bahwa :

Alat-alat jelas mempunyai arti penting untuk melatih dan mengoptimalkan kemampuan kognitif anak. Kelas vertical grouping (mix age 2-6 y.o) jelas memberikan pangalaman sosial yang berbeda pada anak yang berada dalam kelas dengan usia homogen. Masalah-masalah sosial di dalamnya lebih kompleks, sehingga anak akan mempunyai cara dan solusi tersendiri untuk menghadapinya.

Kreativitas anak-anak Montessori justru berkembang dengan baik karena mereka tetap diberi kesempatan untuk itu. Kreativitas yang selama ini ada dalam benak orang sepertinya masih tentang hal-hal yang berbau sesuka-sukanya dan bebas sebebasnya. Kesempatan itu tetap diberikan, tapi kreativitas yang positif adalah ketika seseorang telah mengetahui aturan main sesuatu, kemudian dia mengembangkannya. Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Dorothy Einon (2002): Ketika anak Anda pertama membuka piano dan mengetuk-ngetuk tutsnya, dia tidak sedang bermain musik. Untuk menjadi musisi kreatif, dia harus memahami bahasa musik dan harus berlatih keterampilan untuk memainkan alat musik atau menyanyi mengikuti nada. Pembedaan antara melakukan suatu aksi dan kreativitas murni dijumpai dalam semua bentuk ekspresi artistik

Anak-anak Montessori yang pernah saya hadapi juga nampaknya belum pernah ada masalah dengan fantasi. Mereka layaknya anak-anak pada umumnya tetap senang bermain peran dan menerima dengan wajar cerita-cerita berbau dongeng, karena saya percaya bahwa secara naluriah dan alamiah imajinasi dalam diri anak sudah ada. Seperti juga yang dikemukakan oleh Dr. Richard C. Woolfson (2002), bahwa anak pada usia perkembangan 13 bulan, dia mulai dapat menunjukkan imajinasi dan pada usia 14 bulan mulai dapat mengembangkan imajinasi dalam permainannya. Hanya saja, ada yang terekspos secara berlebihan dan ada yang wajar-wajar saja. Menurut saya, pemberian ruang gerak yang sesuai dengan kapasitas anak untuk berimajinasi adalah kata kunci agar anak tidak terjebak dalam dunia khayalan.
Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar