Minggu, 09 Desember 2012

Menjadi Guru Montessori Ideal (Bag 3) - SELESAI


Ketika posisi guru Montessori berada dalam lingkup yang lebih luas yaitu dalam kelas, hal yang diharapkan darinya adalah :

-          Menjadi panutan yang baik bagi para anak didiknya (good role model). Anak-anak dalam masa emasnya mempunyai kecepatan menyerap informasi dan pengetahuan yang tinggi. Dia pun akan dengan otomatis mudah mencontoh apa yang dilihatnya. Sebagai guru Montessori tentu harus berhati-hati baik dalam bersikap dan berbicara, karena anak-anak akan meniru semua itu.

-          Konsisten dan tegas dalam menerapkan disiplin di kelas. Berbahasa yang sopan dan berbicara dengan nada lembut juga diperlukan ketika menghadapi anak-anak secara personal.

-          Guru Montessori akan menjaga agar lingkungannya selalu aman, tenang, damai, rapi, teratur, dan bersih. Anak-anak juga akan mengamati dan belajar untuk ikut serta mewujudkan kondisi seperti itu.

-          Guru Montessori akan terlihat selalu dekat, bergerak dan sibuk dengan anak-anak. Dia tampak selalu berada dekat dengan anak-anak serta siap untuk melayani dan mengarahkan jika diperlukan. Itulah mengapa di kelas Montessori tidak ditemukan meja guru atau papan tulis di depan kelas, karena semua kegiatan belajarnya terpusat pada aktivitas anak-anak.

-          Guru Montessori tak pernah berhenti mengamati aktivitas anak-anak, karena memang tugasnya yang terpenting adalah mengamati setiap perkembangan mereka.

 

Mungkin ada sebersit pertanyaan mengenai judul essai “Menjadi Guru Montessori Ideal” ini. Mengapa penulis menambahkan judul essai yang dianjurkan pelatih dengan menambah kata “menjadi” ? Sebab menurut penulis, judul ini rasanya lebih tepat dengan paparan yang diungkapkan di sini. Karena dalam tulisan ini selain penulis menguraikan hal-hal yang berbau teoritis, ada hal yang ingin penulis sampaikan secara persuasif kepada siapapun yang menginginkannya untuk dapat bersama-sama melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

“Menjadi” adalah sebuah kata yang menunjukkan sebuah proses. Di dalamnya sarat akan makna ‘perjalanan’ menuju kesempurnaan karena kita sebagai manusia walaupun berprofesi seorang guru sekalipun bukanlah makhluk yang sempurna. Kita hanya dapat berusaha untuk menjadi sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Jadi, menurut Mochtar Buchori (2007) : bahwa menjadi guru ideal pada umumnya, apapun itu metodenya, merupakan proses melakukan usaha secara terus-menerus untuk :

  • Meningkatkan pengetahuan serta meningkatkan penguasaan terhadap materi pembelajaran
  • Meningkatkan kemampuannya menyampaikan materi pembelajaran secara efektif, edukatif, dan dialogis
  • Meningkatkan kualitas ‘hubungan pedagogis’ dengan para siswa, yakni menjalin hubungan pribadi dengan siswa yang didasarkan atas kepercayaan (trust)

Jika usaha untuk menjadi guru ideal dijadikan sebagai acuan guru-guru di Indonesia, saya percaya mereka akan berhasil membentuk para peserta didiknya menjadi manusia yang berkualitas.
 
S E L E S A I :)



REFERENSI

Buchori, Mochtar. Handout Seminar Menjadi Guru yang Profesional. 11 April 2007

Rachman, Arief DR. MPd.. Handout Seminar Membentuk Guru yang Kreatif dan Inovatif Menghadapi Era Globalisasi.

Gettman, David. Basic Montessori Learning Activities for Under Fives. New York. St.
Martin Press. 1997.

Hainstock, Elizabeth G. Essential Montessori Updated Edition. New York. Plume Printing. 1986.
 
Lillard, Paula Polk. Montessori A Modern Approach. New York. Schocken Books. 1972.

Module I Montessori Philosophy

Pengalaman pribadi penulis sebagai anak didik sebuah sekolah pada zamannya

Pengalaman pribadi penulis sebagai guru di Pra sekolah Bandung Montessori School

 

Selasa, 04 Desember 2012

Menjadi Guru Montessori Ideal (Bag 2)


Guru ideal yang diperlukan dalam sistem pembelajaran dengan metoda Montessori adalah guru yang mengajar hanya sedikit, tetapi banyak mengamati dan hanya mengarahkan anak untuk melakukan latihan-latihannya sendiri. Dia lebih banyak pasif daripada aktif . (Lillard, 1972).
 
Yang perlu dilakukan dalam melaksanakan tugasnya sebagai fasilitator ketika menghadapi anak secara perseorangan dalam kegiatan belajar :
 
-        Pandanglah anak dengan sungguh-sungguh dengan melakukan kontak mata yang baik dan samakan ketinggian kita dengannya ketika berbicara. Berbicara dengan lembut dan berada benar-benar di dekatnya membuat semua komunikasi menjadi efektif dan efisien.
 
-        Guru dan anak didik diharapkan dapat saling belajar dan bekerja sama. Jangan pernah sungkan untuk belajar dari anak didik dan jangan pernah ‘gengsi’ untuk mengatakan tidak tahu maupun mengakui kesalahan. Anak didik berperan sebagai subjek dan objek dalam kegiatan belajar mengajar. Guru Montessori bukan pusat perhatian kegiatan belajar, melainkan anak didik yang menjadi pusat perhatian kegiatan belajar. (Lillard, 1972)
 
-        Dalam mengajarkan sesuatu, guru Montessori mempunyai tahapan-tahapan terstruktur yang dimulai dari mengenalkan, mengerjakan, menyelesaikan sampai pada tahap memberi kesempatan kepada anak didik untuk mencoba. Hal yang penting untuk diketahui adalah, ketika anak mempelajari hal tersebut bukanlah semata-mata belajar langsung dari gurunya tetapi justru dia belajar melalui kemampuan pengamatannya sendiri. (Absorbent Mind dalam Hainstock, 1986)
 
-        Untuk itu, sebagai guru Montessori jangan pernah bosan untuk mengulang terus memberi tahu anak bagaimana cara mengerjakan latihannya dengan benar karena dengan latihan yang dikerjakan berulang-ulang itulah yang membuat kemampuan pengamatan si anak akan meningkat sehingga cepat atau lambat anak akan menemukan sendiri kesalahannya. (Absorbent Mind dalam Hainstock, 1986)
 
-        Ketika anak tengah bersemangat mengerjakan latihannya sendiri, guru Montessori sebaiknya tidak melakukan interupsi. Kunci suksesnya adalah ketika anak mulai berkonsentrasi penuh, berlakulah seakan-akan seperti anak tidak ada. (Absorbent Mind dalam Hainstock, 1986). Biarkanlah anak mengerjakan latihannya dengan cara dan kemampuannya sendiri. Karena jika interupsi dilakukan, maka konsentrasi anak akan terganggu. Konsentrasi anak adalah hal terpenting dalam aktivitasnya.
 
-        Ketika anak selesai mengerjakan latihannya hal yang perlu diingat seorang guru Montessori adalah jangan pernah membuat anak merasa dia telah berbuat kesalahan. (Absorbent Mind dalam Hainstock, 1986). Karena hal inilah yang dapat menjadi penyebab ‘pembunuh’ terbesar dalam keinginannya untuk belajar dan mencoba. Membiarkan anak puas dengan apa yang telah dikerjakannya sendiri akan lebih baik untuk perkembangan rasa percaya dirinya.
 
Bersambung..

Sabtu, 01 Desember 2012

Menjadi Guru Montessori Ideal (Bag 1)

 
Pengalaman pribadi penulis di saat mengenyam pendidikan di sekolah dulu meninggalkan kesan yang khusus untuk para gurunya dan mungkin bagi sebagian orang yang sezaman, mereka akan mengangguk setuju ketika membaca tulisan ini.
Sosok ‘guru’ yang masih melekat di benak penulis ketika itu adalah sosok yang tidak pernah salah, pusat perhatian dalam kegiatan pembelajaran, ada perbedaan ‘strata sosial’ yang cukup jelas, komunikasi satu arah dan kadang tidak mau didebat ataupun diajak berdiskusi apalagi ‘belajar’ bersama (sharing) dengan peserta didik. Hmm.. sungguh-sungguh guru yang ‘sempurna’ ya.. pikir penulis hari ini.
Seiring dengan berjalannya waktu dan kemajuan-kemajuan di segala aspek kehidupan, pemikiran pun sepertinya ikut ‘terbuka’ dan lebih berani dalam melakukan perubahan. Perubahan untuk menjadi lebih baik saya kira itu bagus, khususnya pada bidang pendidikan. Sosok ‘guru’ yang penulis uraikan di atas tadi, berangsur-angsur sudah sulit ditemukan. Terlebih lagi ketika penulis diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk mengalami sendiri menjadi guru yang ‘berbeda’ dari guru pada zamannya dulu.
Inilah kiranya titik awal penulis untuk bertekad melakukan perubahan pengajaran untuk menjadi lebih baik.
Di awal perkenalannya dengan metoda pengajaran Montessori dan sampai saat paparan ini ditulis, penulis banyak menganggukkan kepala tanda sepakat untuk hampir keseluruhan pemikiran yang terdapat di dalamnya.
Dalam Montessori Philosophy Module I, ide dasar metoda Montessori adalah spontaneous activity and independent learning, dimana sosok guru yang melekat di benak penulis saat bersekolah dulu tidak diperlukan lagi di alam pembelajaran seperti ini.
Guru yang harus ‘muncul’ untuk metoda yang berbasis seperti ini adalah seorang guru yang mampu menjadi fasilitator. Dia diharapkan mampu mencapai tujuannya yaitu :
-          Menggali dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki anak
-          Mengantarkan dan mengarahkan kemampuan intelektual, moral, dan budaya anak didik pada tingkat yang tertinggi.
Menurut pandangan saya, yang diharapkan dimiliki oleh seorang guru Montessori dari sisi kepribadiannya (personality) adalah :
-          Semangat yang tinggi
-          Penuh keikhlasan dan kesabaran menghadapi anak didik
-          Mengajar dengan sepenuh hati
-          Pantang menyerah
-          Selalu ingin belajar lebih banyak
-          Optimis dalam menghadapi anak didik, selalu percaya bahwa anak didiknya akan berhasil
-          Selalu terlihat ceria dan senang hati
Sedangkan kemampuan teknis yang diharapkan seperti yang tercantum dalam Montessori Philosophy Module I adalah :
-          Pengetahuan tentang metoda Montessori
-          Pengetahuan mengenai perkembangan anak
-          Kreatif dan penuh inspirasi dalam menstimulasi anak
-          Kapasitas pengetahuan yang layak
-          Kemampuan mengamati
Tapi menurut Maria Montessori sendiri bahwa kemampuan teknis bukanlah segalanya tetapi yang lebih penting dibangun dalam diri seorang guru adalah semangatnya.
It is my belief that the thing which we should cultivate in our teachers is more the spirit than the mechanical skill of the scientist. (Maria Montessori dalam Hainstock, 1986)
 
Bersambung...