Sebuah
tulisan penuh cinta kasih untuk para orang tua yang saya sayangi.. Tulisan ini
dibuat berdasar hasil pengamatan dari pengalaman saya selama hampir 20 tahun di
dunia PAUD dan pengalaman nyata sebagai ibu dari 3 anak yang saat masuk SD nya
berbeda usia (ada yang terlalu cepat, mateng banget, mateng tanggung.. hehehe..).
Plus berdasar pula beberapa teori dari para ahli psikolog tentang usia
perkembangan anak dan beragam sumber tulisan parenting. Teori memang tidak
selalu seindah praktek di lapangannya. Tapi untuk kasus kali ini, ternyata pengalaman
saya menunjukkan bahwa teori-teori tersebut saya akui hampir 95% benar semua
adanya.
Dear orang tua siswa Rumah Montessori yang kusayang..
Tulisan ini
mungkin juga akan lebih pas untuk para orang tua yang mengincar dan berencana
memilih SD yang berkurikulum nasional dan bermetoda konvensional (belajar
klasikal, bermurid banyak dengan guru terbatas dan fasilitas pelayanan belajar
yang non individual).
Tulisan ini
juga dibuat untuk memaparkan alasan yang sejelas-jelasnya tentang mengapa Rumah
Montessori selalu konsisten menjawab usia 7 tahun saat masuk SD bagi yang
bertanya usia berapa anak matang dan siap masuk SD. Dengan catatan : SD yang
ditujunya yang bersistem klasikal konvensional bermurid massal lho ya.. Opini
kami bisa berubah menyesuaikan keberadaan kondisi dan usia anak serta sekolah
dasar yang dituju bukanlah sekolah dasar bersistem konvensional klasikal.
Kami
hampir gak nyentuh bicara tentang kemampuan calistung anak karena itu bukan
tiket paling penting bagi kami untuk seorang anak yang masuk SD konvensional.
Selain sekolah-sekolah sekarang cukup banyak yang gak pake tes calistung dan
mereka akan menerima tanpa ba bi bu saat anak sudah berusia 7 tahun saat masuk
SD, juga karena sekolah-sekolah dasar itu pun (sekolah yang baik dan support
tentunya) akan siap membantu anak belajar calistung dari tingkat dasar
sekalipun. Bagi kami, Rumah Montessori : tiket dan modal yang paling penting
untuk bisa masuk ke SD bukan hanya di hi-lite di kemampuannya yang sekedar
sudah bisa ngomong dan berdiskusi banyak, duduk anteng, ngerti instruksi dan
kecerdasan akademik lainnya. Itu semua penting, tapi hal terpenting yang masih
sering dilewat itu adalah bekal modal memastikan sudah terbentuknya ‘mental
health’ yang akan membuat anak tidak terpapar mental
hectic saat usia sekolah nanti.
Mari kita
mulai bercerita ya..
(orangtua laen boleh juga kok ikut baca.. hehe)
Bulan ini, tepatnya mungkin mulai
bulan Oktober an lah ya.. disebut bulan galau sejagat mama (bukan maya ya..
hehe) yang buah hatinya mulai jelang masuk usia nanggung untuk masuk SD atau
tidak di setiap tahunnya. Galau itu juga kumat kala banyak berseliweran spanduk
open house beserta promo penerimaan siswa baru di SD-SD terdekat. Saat sudah
mulai datang berondongan pertanyaan dari sekeliling terutama keluarga dekat
yang mempertanyakan atau lebih ngenes lagi ‘judging’ dengan statement : “Eh.. tahun
depan adik masuk SD kan ..?” Euleuh.. baru aja 2-3 bulan masuk sekolah tahun
ajaran baru.. baruu aja bayar-bayar.. mamak nya sendiri aja belom sempet mikirin
karena baru rehat dari keriweuhan back to school nya si anak, ini udah ditodong
lagi haha.. ampuuunn..
Santeiii.. Gak apa-apa atuh ih.. itu
namanya ‘care’.. perhatian tanda sayang ya Bu.. Pak.. Kuncinya tetep ada di
kita, tetap tenang karena itu hanya sebuah colekan lembut pengingat, bukan api
penyulut kebakaran. Jangan disalahartikan ya.. Kalau sudah ada yang
mengingatkan, step berikutnya adalah tetap tenang supaya keputusan yang diambil
tetap objektif dan berdampak baik ke depannya untuk buah hati kita. Bukan baik
hanya untuk kita lho ya.. bukan hanya untuk sekedar menyenangkan si penanya..
bukan hanya sekedar menjadikan lebih cepat masuk SD lebih baik dan keren plus
dapet julukan si pintar.. bukan hanya karena nyamain dengan kakaknya yang
kemaren masuk SD di usia muda gak ada masalah (it’s exactly different! Historis
mereka berbeda walau lahir dari satu rahim yang sama sekalipun).. please don’t
do that.
Tolong yang dipikirin adalah dampak 10-15
tahun kemudian pada anak terhadap mentalitas nya dalam menjalani kehidupan yang
penuh dengan rutinitas dengan tugas nya sebagai pelajar. Kita, para orang tua adalah support system yang harus beneran
membekali dan mendukung dengan segala fasilitas yang terbaik.
Bentar.. bentar.. Bu, itu judulnya
gak salah? Perasaan gak nyambung.. jauh teuing deh kayaknya.. haha..
Enggak laa.. dua-duanya sama-sama ada
dalam fase kehidupan manusia (walau tidak semua ya..) dua-duanya juga suka
dikampanyekan pemerintah dalam hal usia kesiapan. Masuk SD 7 tahun dan masuk KUA
25-27 tahun. Tapi beneran mirip deh case nya. Benang merahnya : tentang komitmen
dan bagaimana supaya bisa mempertahankannya dengan baik.
Yang satu berkomitmen dengan sebuah
sekolah yang bakal ‘mengikat’ kita sebagai orang tua dengan pihak sekolah dasar
dan dengan segala SOP, tuntutan dan kewajiban di dalamnya. Dibutuhkan
individu-individu tangguh bermental baja, bukan sekedar pandai calistung dan
akademik lainnya walau itupun termasuk factor yang penting. Karena bukan hanya
sekedar anak bisa menguasai pelajaran saja yang akan anak hadapi di sekolah
dasar nanti. Tapi akan bermunculan silih berganti masalah-masalah anak usia
sekolah 7-9 tahun seperti dikutip dari buku Parents Guide Growing Up 7 – 9
tahun :
-
KEBOSANAN
PADA RUTINITAS
Orang
dewasa aja sering bosan jalani rutinitas, sama ya anak juga. Ini gak akan lama
terjadi saat anak sudah memiliki kematangan karena mereka punya cukup kesadaran
bahwa ini tugasnya dan dia akan berupaya menciptakan kondisinya sendiri agar
bisa melewatkan kebosanannya. Kalau anak yang belum matang, mereka belum
terampil bangun sendiri kendali bosannya karena masih ingin main dan belum
sadar tugasnya. Bukan nakal, hanya belum menyadari penuh. Nah jadilah upaya
orangtua disini agak berat karena kita juga dituntut tekanan sistem sekolah
sedangkan anaknya masih berlatih untuk bisa kooperatif. Lama-lama semakin terus
dipaksa anak pun akan semakin malas dan menolak. Sudah mah bosan karena belum
tertarik untuk diajari, ditambah pakai acara dipaksa sekolah. Bisa berujung
mogok sekolah berkelanjutan dan biasanya orangtua suka berbagi stress ke anak
dengan membawa seruan : sudah bayar mahal-mahal kamu gak mau sekolah, itu
keterlaluan! Hahaha.. bener apa nggaakk..
-
MOOD
SWING (mood belajar on off karena ketidaknyamanan ataupun ketidakseruan sistem
pengajaran maupun gurunya) dan histori keterlambatan perkembangan sebelumnya.
-
HAMBATAN
PEMAHAMAN : belajar itu susah banget sih!
Karena
di bawah usia 7 tahunan belum seutuhnya siap diajari.. belum teachable. Dunia
bermainnya masih on.
-
GANGGUAN
PERTEMANAN (bullying)
-
MENGKHAWATIRKAN
PENAMPILAN FISIK DAN PEER PRESSURE (TEKANAN DARI TEMAN SEBAYA)
Akan
ada masalah cukup serius saat di sekolah dasar, dikarenakan masih tersisanya sifat
egosentris saat anak terlalu muda masuk ke SD. Ditambah lagi jika saat
masa-masa prasekolahnya merasa kurang diterimakan kehadirannya secara apa
adanya. Di SD anak akan bertemu teman-teman baru berlatar belakang, berpola pengasuhan
dan berasal dari lembaga didik yang lebih beragam dan anak harus dapat segera
beradaptasi. Tapi, anak harus dilatih juga untuk berupaya menjadi individu yang
mempunyai pendirian pada hal-hal yang baik.
Walau
seringkali di cover dengan baik oleh orangtua di rumah, tapi apakah lantas
langsung aman di luar sana dari ocehan para manusia spontan? Itu sudah pasti
terlanjur duluan masuk ke hati sebelum kita filter.. karena kita gak 24 jam
bisa jadi pengawal pribadi buah hati kita.. jiwa yang harus sudah siap menapaki : menyadari inilah
hidup yang sejujurnya..
-
BAPER-AN,
EMOSIONAL
Melatih
kendali emosi akan perlu waktu lebih lama saat di usia sebelumnya pernah ada
riwayat speech delay atau keterlambatan perkembangan lainnya. Ketidakmatangan dalam emosi akan menghambat anak dalam interaksi sosialnya, karena sulit dipahami dan tidak mau memahami.
-
MENGHADAPI
PERSAINGAN, NILAI DAN KENAIKAN KELAS
-
BERTEMU
KEGAGALAN DAN PENCAPAIAN PRESTASI
Banyak ya masalah anak kita di luar
akademiknya? Dan dalam menjalani masalah-masalah di atas, banyak juga yang
mengeluh bahwa tingkat stress nya berpindah ke fisik : sakit perut, mual dan
pusing-pusing yang berujung gak mau sekolah. *duh ikut mules gak tuh orangtua..
Mirip kan sama persiapan jelang
pernikahan.. hehe.. Kalau di sini, individunya gak cukup hanya punya saling
cinta terhadap pasangan, walau itu juga bahan dasar yang penting.. Ibarat masuk
SD gak cuma bisa calistung lah ya, walau mampu calistung juga perlu..
Pernikahan yang dipersiapkan dengan pembekalan dan modal yang matang dan baik,
kemungkinan ikatan pernikahan bisa langgeng-nya lebih lama. Pastinya sudah
harus berbicara tentang persiapan kematangan di mental, keimanan, visi misi, pemahaman tugas masing-masing, financial, emosi dan
jiwa. Ukuran kematangan seseorang untuk semua aspek ini ditentukan pula salah
satunya oleh usia. Semakin matang, biasanya berbanding lurus dengan segala
kesiapan jiwa dan mentalnya untuk mengarungi bahtera pernikahan yang komitmen
nya lebih serem di sini : bukan sekadar 6 tahun seperti sekolah dasar tapi
seumur hidup ya Buuu.. Paak.. hehe.. Naah.. semoga sekarang paham ya
nyambungnya ke mana si judul tulisan ini teh..
Bagi yang udah ngejalanin pernikahan
yang usianya udah hitungan tahunan, pasti ngerti deh dimana kita sebagai
makhluk dewasa matang ini akan menggunakan modal-modal kesiapan/kematangan
psikologis kita demi mempertahankan apa yang kadung sudah jadi komitmen kita
bersama pasangan.. Seru kan ya? Hehehe.. Kalau gak sabar-sabar amat mah udah
mundur.. Kalau gak inget ibadah mah udah bubar jalan.. Kalau ego sudah jauh
lebih besar memanggil dan gak ada rem kedewasaan berpikir mah udah putus
nyambung putus nyambung puluhan kali.. Kalau cinta ada tapi mental belum siap
karena dulu kecepetan nikah di usia muda yang masih rentan-labil-pendek mikir, ngaruhnya
bisa ke susah bangun lagi ketika jatuh terpuruk karena perkataan, laku dan
apapun itu dari pasangan maupun sekeliling kita. Karena sebagai makhluk dewasa,
kita udah dituntut harus siap ngadepin apa-apa sendiri, nelen sendiri,
nyelesein sendiri, berubah dan bangun sendiri.. yang laen cuma bisa bantu ngoceh,
kepo sama doa doang..
Hampir sama lah yaa sama kebutuhan
kematangan anak yang mau jalanin SD di atas.. hehe.. Cuma enaknya, anak SD
masih ada support system yaitu orang tuanya.
Jadi, orang tuanya juga harus ikutan
matang jiwa di sini :
- Gak emosian, gak stress-an
- Tenang dan lebih fokus mikir
solusi saat ngadepin masalah-masalah anak sekolah yang tersebut di atas
daripada memberondong anak dengan labeling negatif yang malah bikin anak merasa
semakin buruk
- Pantang menyerah mencari dan mencoba trik yang smart dalam menghadapi beribu alasan dan ulah
- Punya semangat dan kepercayaan pada kemampuan diri yang jauh lebih besar dari
si anak itu sendiri
- Sabar, gak gampang kesulut omongan sana sini tentang anak
- Selalu punya kasih yang tak habis
- Terampil bikin happy anak
Itu beberapa persyaratan khusus bagi sang support system : para orang tua..
Sedikit berbagi, saya punya 3 anak..
kebayang energi dan porsi stressful nya berbeda-beda, sedangkan sebagai
orangtua harus lebih kuat dan tenang di lapangan. Intinya jangan sampai jatuh sakit
baik fisik maupun mental.
Caranya?
Redakan tingkat stress kita dengan
membuat kondisi dimana permasalahan anak-anak kita di sekolah tidak akan
menghasilkan stress tambahan. Inget yo Mam, urusan dan masalah pemicu stress
kita bukan hanya dari anak-anak.. hehe.. masih banyak yang lain! Agak longgar
rasanya hidup ini, ketika memiliki anak yang sudah matang dan cukup usia untuk
siap belajar di SD.
Kenapa?
Calistung bisa dikejar, tapi jujur
aja sejauh pengalaman saya menunjukkan bahwa pada usia-usia di atas 6 tahun 7
bulan, anak biasanya sudah menguasai yang dasar. Ini penting, sehingga mereka
akan merasa lebih percaya diri ketika mengikuti semua materi pelajaran sekolah
yang mungkin sudah tidak akan didampingi secara individual seperti di Rumah
Montessori karena tipikal sekolah yang anak masuki yang bersistem klasikal
konvensional, sudah riweuh dengan urusan kurikulum dan target sekolah, bukan
perkembangan anak yang lebih penting. Ini merugikan potensi anak-anak kita.
Yang sebetulnya ada dan bagus tapi gak bisa kegali hanya karena gak kepegang, akibat
kebanyakan anak dan urusan lain.
Lalu apa lagi?
Timbulnya masalah-masalah yang kerap
terjadi pada anak usia sekolah 7-9 tahun yang sudah diurai di atas tadi lebih
mudah dihadapi dan cepat diselesaikan, karena anak sudah mempunyai modal mental
dasar yang cukup untuk ‘bangun sendiri’ atau cukup kuat dengan sendirinya dalam
rangka menjalani komitmen belajarnya di sekolah dasar nanti.
Apa sajakah modal mental itu ?
Motivasi internal nya sudah nyala
banyak sehingga lebih peka dan sadar pada posisi dan tugas hidup untuk anak
seusianya adalah belajar, seperti : sudah gak banyak lagi butuh main mainan,
(seharusnya) sudah terpenuhi banyak kebutuhan bergeraknya, jiwanya sudah masuk
lebih banyak ke tahap sadar, sudah mau dan siap untuk diajari (teachable), sudah mengerti perasaan
‘malu’ dan sudah banyak mengenal dan mulai berlatih mengendali diri dan emosi yang
nantinya penting saat anak berinteraksi bersosialisasi.
Mungkin ada yang ingat, siapa dulu di
antara kita alesan gak mau atau males masuk sekolah hanya karena lagi sebel
sama temen dan lagi gak mau ketemuan sama dia gara-gara sempet dikatai hal yang
tak enak.. hehe.. lalu, kemampuan calistung kah yang bisa menyelesaikan masalah
jenis itu?
Pertanyaan lainnya : coba kita analisa,
apakah semua masalah di luar akademik tadi bisa diatasi anak lewat
kehandalannya dalam calistung? Bisakah baper-an nya dihentikan dengan sekadar
anak sudah jagoan berdiskusi tentang banyak hal pengetahuan umum? Bisakah
bullying dihadapi hanya dengan modal anak yang sudah bisa jawab soal matematika
tingkat tinggi?
Mau sepintar apapun, se-gifted apapun
anak, jika mentally, emosi sosial dan kejiwaannya tidak berimbang dengan
intelektualitas, individu tersebut tak akan mampu mencapai goal menjadi manusia
yang bermanfaat. Kepintarannya hanya akan dipeluk sendirian, yang tahu dia
pintar cuma dia, orang lain gak bisa mengerti dia karena emosian, gak tenggang
rasa, menutup diri gak mau bergaul, nyiptain apa-apa sendiri, egois dll. Lalu
buat apa pinternya? Bukankah ilmu itu untuk diamalkan? Bukankah tugas manusia
di muka bumi ini adalah menjadi makhluk yang bermanfaat baik bagi sesama maupun
semua makhluk ciptaanNya?
Selain itu anak yang SD nya berusia mulai
6,5 tahun ke atas juga sudah kenyang main dan bergerak dalam melakukan segala
kegiatannya karena kebutuhan sensori motoriknya ikut terpenuhi disini. Catatan
penting : tolong garis bawahi juga darimana asal KB-TK anak berasal. Kabar
baiknya, Rumah Montessori mudah-mudahan mengakomodir kebutuhan itu semua. Dari
mulai sistem pembelajarannya sampai ke masalah : hati anak harus happy alias
bahagia pada zamannya (masa kecilnya yang gak bakalan balik), kebebasan
bergerak saat menjelajah belajar dan bekerja, merasa dihargai dan diakui
keberadaannya karena pilihan dan pendapatnya selalu disimak, difasilitasi dan
diarahkan bukan dipaksakan, pembentukan karakter perilaku dan tata krama yang
tersupervisi karena fungsi fasilitator yang lebih banyak mengamati dan
mengarahkan dibanding riweuh ngajarin dan ngebetul-betulin hasil kerjaan murid
(karena kami yakin anak bisa berlatih belajar, mengkoreksi diri dan melakukan
aktifitas-aktifitas tertentu secara mandiri).
Ketika anak bermain, belajar,
bekerja, dan bertumbuh kembang bersama kami di Rumah Montessori, ingin kami
pastikan bahwa anak mempunyai kesan dan penilaian terhadap kegiatan belajar dan
bekerja itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan tanpa tekanan berat karena
mereka sendiri yang ukur semua itu. Ini kunci penting yang akan dibawa di
usia-usianya sebelum mengenal sekolah formal.
Mereka tidak akan kaget, mereka
hanya akan beradaptasi perlahan, mindset mereka sudah di block : bahwa belajar
itu menyenangkan jadi ketika di sekolah dasar, perasaan itulah yang akan
terbawa dan selalu ada di kepala mereka. Kalau sudah happy, otak akan menjadi
rileks.. nerima materi apa aja akan lebih mudah terserap masuk.
Sebagai contoh kontroversial yang real
: salah satu anak saya menjalani aktivitas KB-TK yang sangat sarat akademik
(dari mulai usia 3 tahun nya) serta masuk SD cepat alias terlalu muda, tak
membantu banyak ketika dia di SD dan akhirnya harus bertemu sapa dengan semua permasalahan
anak usia sekolah dasar di atas tadi. Luar biasa perlu waktu panjang dan cukup
rumit untuk dibenahi kembali. Kebutuhan bermain yang belum kenyang disertai
dengan kebosanan dan keengganan berpikir focus karena dari mulai 3 tahun, sudah
itu-itu terus makanan hariannya : akademik. Padahal soal kecerdasan tidak
menjadi masalah. Orangtua stress, anak stress, mungkin juga gurunya ikut stress
sebetulnya.. hahaha.. sekarang mah anaknya sudah tenang sentausa dan jiwanya mulai
menapak sadar pada tugasnya sabagai pelajar di usianya. Ini yang paling
penting. Memiliki otak yang pintar tak akan ada manfaat selama dia belum matang
tentang memahami kebutuhan dia belajar itu untuk apa. Tak ada semangat dari
dalam diri untuk mencari tahu, tapi hanya demi suruhan orang lain yang tidak
banyak berkepentingan pada kehidupannya kelak.
Please do your best decision. Ini
semua tentang masa depan putra-putri para orangtua yang saya sayangi. Semua ini
bukan hanya untuk jangka pendek, dampaknya akan memanjang sampai belasan tahun
kemudian. Kami hanya menyampaikan apa yang wajib disampaikan dari hati tulus
kami yang terdalam, bahwa visi misi kami sudah jelas yaitu dalam mengupayakan
membentuk individu yang bahagia, tangguh, santun dan cerdas. Kewajiban kami
juga untuk mengedukasi para orangtua dan masyarakat melalui jawaban yang kami
upayakan sejelas dan sedetil mungkin agar bisa dipahami.
Pada akhirnya..
You are free to choose but you are
not free from the consequence. Pilihan ada di tangan masing-masing para
orangtua. Bebas pilih mau yang mana.. mau cepet-cepet SD boleh.. mau mateng
boleh.. mau nanggung juga boleh.. Semua pilihan ada konsekuensinya
masing-masing, silakan untuk bersiap menjalaninya.
Begitulah, para orangtua murid Rumah
Montessori ku yang tersayang..
Sekali lagi tidak ada tendensius dari
kami tim Rumah Montessori atau maksain putra-putrinya untuk masuk usia SD
sesuai dengan opini dan paparan kami di atas ya..
Kami hanya ingin mencerahkan dan
membantu memudahkan kalian semua dalam berperan sebagai orangtua supaya siap,
matang juga tenang dalam mendampingi anak dengan minim stress agar kehidupan kita
tetap berjalan penuh kebermanfaatan, sehat, bahagia dan tetap positif.
Mudah-mudahan, kelak putra-putri kitapun bisa menjadi manusia seperti itu
adanya.
Life should be balance.. Makin
bertambahnya usia kita, masalah makin banyak datang tanpa diundang.
Mudah-mudahan kita bisa mengatur untuk sedikit rileks dan mengurangi tumpukan
masalah, salah satunya mungkin dengan mendampingi anak yang minim stress saat
usia sekolah mereka agar tetap tersedia ruang gerak bagi masalah penting lainnya
untuk bisa kita tangani dengan baik pula.
Ayolah.. Jangan lupa bahagia ya..
Remember please, life is good.. please be in it..
by : Ivy Maya Savitri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar