Buah tangan dari kunjungan tim guru Rumah Montessori ke Singapore Waldorf Steiner Education Association (Rabu 26 Sept 2018)
(saran : harap teruskan mencari info dan belajar lebih banyak dan langsung dari praktisi dan ahli lainnya)
Ceritanya kami tim
guru Rumah Montessori diberikan
kesempatan untuk bisa melakukan kunjungan belajar ke Singapore Waldorf Steiner
Education Association. Berbulan-bulan sebelumnya kami menyiapkan dan mengirim
email permohonan kepada cukup banyak penyelenggara pendidikan diluar genre
sekolah kami (Montessori). Kami berharap bisa dapat sambutan dan izin untuk
sharing bareng tentang metoda pendidikan apapun itu.
Metoda pendidikan
Reggio Emilia dan Waldorf lah yang saat itu kami dambakan bisa kami peroleh
banyak informasinya.
Alhamdulillah
gayung bersambut. Email menggembirakan yang ditunggu sejak lama, kami terima
dengan perasaan berbunga-bunga. Permohonan kami disambut baik dan kunjungan
kami pun ditunggu oleh staf Singapore Waldorf Steiner Education Association.
Wiiiihh.. puji syukur pisaann..
Saya gak akan
memaparkan detail apa yang diperoleh di sana karena selain sudah ada perjanjian
tidak akan publish terlalu banyak, saya hanya ingin menyampaikan beberapa isi
pikiran sesuai opini yang ada di kepala saya aja. Jadi ya.. jangan ditelan bulat-bulat apa yang saya paparkan disini
karena boleh jadi akan berbeda dengan opini orang lain diluar sana.
Sengaja saya
posting juga di blog ini ‘common question’ yang datang ke saya terkait dengan
oleh-oleh apa yang bisa dibagi setelah kunjungan belajar ini.
Mohon baca dan
pahami juga saran di atas ya (yang di bawah judul) sebelum scrolling baca ke
bawah J
Pertanyaan yang
diposting ini saya pilih karena mungkin bisa mewakili semua pertanyaan yang
berhubungan tentang pendapat pribadi saya dan sistem Waldorf terkait saya
sebagai praktisi atau pengguna metoda Montessori..
Please enjoy and
read this with relax.. mudah-mudahan bermanfaat buat menambah wawasan.
QUESTION
(Pertanyaan via chat Whatsapp) :
Ikihkan aku lg
belajar ttg waldorf; dr sisi parenting nya tuh aku suka krn dia slow parenting
Beberapa inline
sama montessori, tapi ada jg yg bertolak belakang
Kl montess kan
inline sama neurosains, secara background dr maria kan memang kesana
Kl waldorf kan
filsuf, jadi imajinasi dan art diatas segalanya
Dan 0-7 th samsek
no akademik, berhitung, baca dll, unstructure play dan no prepared environment,
no instruction.
Nah itu kan beda bgt
ya, secara di montess kan kita kudu aware sama masa peka, stimulasi, not over
stimulated, structure aparatus dll.
Karena menurutnya
itu nanti bakal jadi problem saat anak anak besar, krn tidak menjadi anak yg
balance secara emosi
Nah, itu yg jadi
pikiran ku
Kalau dari mbak
ivy, yg udah fasih montessori dan jg orang tua dari 3 anak; itu bagaimana kira
kira?
ANSWER (Jawaban oleh Ivy Maya Savitri
– Rumah Montessori BSD) :
- edited & lebih lengkap dari aslinya -
Coba maparin
menurut pendapat ku aja ya.. (pendapat orang lain, cari terus aja.. biar
tambah bingung.. hahaha.. nggak laah.. biar tambah pinteerr dong tentunya hihihi..)
Intinya seluruh
metoda pembelajaran yg ada di seluruh dunia ini, entah itu Waldorf, Reggio
Emilia, Montessori, Froebel, Gardner dll.. semua ciri khasnya gampang ditebak..
telusuri saja karakater dan history of life nya tokoh-tokoh pelopor tsb pasti
amat sangat tercermin pada pengaplikasian metodanya..
Gak usah
jauh-jauh.. analogi nya banyak.. contohnya saat milih sekolah.. kalau kita
cukup kenal kaya gimana gaya serta karakter owner nya atau kepsek nya lah
minimal (kalau owner nya ga pegang banget tu sekolah) itu pasti keliatan banget
running sekolahnya dan atmosphere nya.. karena energi yg mendominasinya ga akan
bisa sembunyi dan pasti menular ke para praktisi lapangan nya (guru-guru &
stafnya).
Setiap metoda
pembelajaran yg dicetuskan dari zaman ke zaman itu udah pasti saling berkaitan
tapi biasanya saling menyempurnakan karena mau gak mau harus menjawab kebutuhan
zamannya.
Jadi wajar, Waldorf
& Reggio Emilia & Froebel mengusung metoda yg mirip : tapi mereka pada
masanya sudah disebut membuat terobosan baru dengan free play nya karena selama
masa itu sistem pendidikan bersifat kaku gak dinamis & terlalu doktrin.
Mereka sama-sama
ingin bikin belajar itu untuk sepanjang hayat, kedamaian dan humanis jadi
starting point nya beneran lebih hati-hati, jangan menakutkan dan it must be
fun and base on freedom. Harus rasa dan tahu bahwa freedom itu basic needs
sebelum kenal ke rules (dan ini inline banget sama milestone alias sensitive
period nya manusia, rules mulai bisa dipahami di usia anak jelang 5-6 tahun, jadi di 7 tahun goalnya : mulai matang).
Walau aku gak
sampai dalem gali ttg Waldorf, aku cukup paham dia itu apa dan kenapa begitu
dengan kacamataku.
Jadi, gak terlalu
setuju juga kalau Waldorf dikatakan tidak prepared environment, tidak ada milestone,
no time table, no instructions.
Setting kelas yang
adem, hommy, sederhana, penuh sentuhan sensorial lewat banyaknya penggunaan
kain halus akan lebih menghaluskan hati kubilang, mirip lah sama montessori yang
juga penuh filosofi tapi rasional logik banget. Materialnya mereka banyak terbuat
dari kayu-kayu natural yang bentuknya dasaar alami banget supaya anak
menciptakan sendiri daya cipta kreasinya, boneka aja mukanya dibikin polos
supaya anak mampu membuat imajinasinya sendiri tentang emosi apa yg diinginkan.
Bercerita aja, gurunya nggak heboh ala-ala guru paud biasanya yang ekspresif
karena membiarkan anak-anak untuk menjelajah dan membuat sendiri imaji yang
mereka inginkan. Kalau kata orang Sunda mah : bebaskeun weeh..
Painting, drawing,
dancing, story telling, creating and baking (preparing & cooking) adalah
materi kegiatan mereka yang selalu ada di time table mereka dalam seminggu.
Dan selalu ada
instruksi saat tiba perpindahan time table, mereka menandai selesainya suatu
aktivitas utk pindah ke aktivitas lainnya dengan lagu.. smooth banget.. menurut
mereka, gak usah bikin shock stress anak laa.. Wong cuma mau ngajak anak pindah
pusat perhatian doang. Instruksi beresin alat juga ada, instruksi saat
anak-anak dengan suka rela deketin guru karena mau bantuin guru yang lagi
preparing food for class juga pasti ada dong.. masa iya mau buat suatu masakan enak
yang bisa dinikmati orang lain sama sekali gak pake SOP alias prosedur yang
harus diinstruksikan dengan benar.. hehe.. ya ndak thoo.. nggak gitu-gitu
amat..
Jadi, guru dalam
kelas Waldorf itu gak kaya di Montessori yang lebih fokus sama observasi dan
minimal intervensi anak. Guru Waldorf itu ya selain mengamati mereka juga sibuk
dengan pekerjaannya sendiri, misal ada yang nge-art, ada yang bebikinan sesuatu
dari kain, kayu atau material lain, ada juga yang di dapur sibuk nyiapin
makanan. Hehe.. jadi inget kelakuan aku sendiri di Rumah Montessori.. saat
guru-guru mengobservasi, aku mah suka sibuk nyikat WC atau tempat nyuci
tangan.. dan itu beneran dideketin anak, ditanyain, sama ada juga yang mau nyoba ikutan
kalau gak keburu digebah sama guru lainnya karena belom beresin alat.. hahaha..
seru ya..
Menurut ku saat
anak tertarik ngedeketin orang dewasa yang sedang bekerja dan tertarik bantu, ini jelas-jelas menstimulasi willing (tangan kaki) untuk bekerja dan heart (hati) nya
banget ya.. karena ada empati, perhatian, niat tulus pada saat join in..
Ngelink banget sama
sebuah quote Dalai Lama : when you educate a young age don't forget to educate
their hearts. Mantull dah..!!
Emang bener banget
karena nanem kebaikan dan kehalusan hati itu lama banget panennya.
Sedangkan akademik,
sekali diajarkan di usia yg tepat (7-14) itu melesat cepat dikuasai.. tapi buat
apa kalau hati mereka gak punya empathy.
Free play nya
Waldorf, Reggio Emilia dan Froebel dengan spielgaben nya juga penting banget
itu buat imaginasi.. dan lately montessori nyempurnain alat-alat spielgaben itu
agar lebih jelas peruntukkan dan dipahami tujuan nya.
Kaya Lego.. dulu
dari kayu lalu plastic tapi masih sederhana bentuk-bentuk nya lama-lama dibikin
juga figurin terus bentuk-bentuk lengkung yg makin membuat mirip dengan bentuk
benda aslinya.
Itu sih yang
diusung Waldorf (lagi-lagi menurut kacamataku, disarankan untuk perlu bahas dan
cari tahu langsung sama praktisinya)
thank you
Naaa.. montessori
mah sepertinya menyempurnakan bagian material tools ajar.. dia basic nya kan
dokter, engineer, secara akademik katagori nya scientist lah.. pasti punya concern
nya masing-masing. Lihat aja preparing nya kemana..
Kalau filosofi
kehidupan nya kurang lebih sama. End point nya : happiness inside, no
competition coz it is a basic of conflict and war, peace education.
Pas kutanya tentang
apakah guru Waldorf dilatih cara asses, observe dan planning, ada kok semua
panduannya dan disampaikan bahwa semuanya back to psychological milestones
base.
Tinggal milih aja..
mau yang visualy jelas keliatan organized, logically, structured tapi tetep gak
abaikan karakter ya montessori..
Atau mau yang
selow, adem, art lebih banyak mengasah kehalusan hati dan emotional management
tapi gak abai akademik juga kok, ya Waldorf.
Keduanya sama-sama
selalu narik ke sustainable education juga, selalu ada menanamkan pembelajaran
bahwa manusia harus dapet minimal life skills untuk bisa menyediakan sendiri
kebutuhan pokoknya (contohnya seperti : pengenalan aktivitas merajut, menjahit à untuk sandang, farming, baking dan
cooking à untuk pangan, kerajinan tangan kayu
atau carpenter activities à untuk papan).
Trend yang aku
bilang masih smooth untuk dibawa ke transisi educulture di kita sepertinya
masih montessori, selain menjawab kebutuhan zaman now juga metoda jadul yang
masih akademik oriented à masih bisa keliatan diutamakan di
montessori (which is academic is still a big issue for Indonesian parents).
Kalau Waldorf,
suatu hari juga akan menjamur tapi perlu agak kenceng sosialisasinya dan butuh
ortu yang lebih tough, komit, idealis plus konsisten dan siap dilabel anti
mainstream.
Mirip la kita
Indonesia ama Singapore.. Singapore itu kan mostly sekolahannya akademik
banget, jd tipikal Waldorf School pasti minor banget masih masuk katagori semi
atau full community homeschooling.. Dan kita kemarin sharing : tetep konsisten
idealistis aja kalau emang udah yakin sama apa yang kita mau selama kita gak
ngerugiin pihak lain. Toss dong.. hahaha..
Kalau aku pribadi,
jujur.. nerapin di anak-anak kandungku pasti nano-nano.. yg aku pegang kuat
cuma just following the child, tiap anak beda kebutuhan nya dan metoda nya.
Tapi mostly montessori masih kepake banyak dan aku juga love art and nature..
makanya angguk-angguk pas ketemu Waldorf.
Sedikit banyak ya
sama aja lah untuk penerapan anak-anak di RumahMontessori juga..
Pesan dariku -
entah dirimu perlu atau tidak.. hehe.. : yang penting jangan selalu merasa
paling benar dalam meyakini apapun..
Para tokoh pelopor
nya juga punya ego masing-masing dalam meyakini dan mengusung metodanya
masing-masing. Wajar.. da itu mah emang basic attitude nya manusia. Begitu juga
fans and followers nya.. suka keukeuh gak jelas belain idolanya.. semakin
banyak followers semakin memastikan kepopuleran dan mengkonfirmasi segalanya
lebih dan paling baik. Padahal.. lebih baik biasa-biasa aja laa.. kenali lebih banyak lagi
yang lain deh.. please always be in wisdom journey.
Aku juga lagi terus
belajar supaya bisa selalu berhati-hati, jangan terjebak untuk berlebihan
meyakini dalam hal apapun sampai-sampai gak mau tengok kemana-mana.. hehehe..
Aaaahh.. bener kan
panjang jadinya..
Entah lah konten
ini sesuai harapan tidak sama yang dirimu tanya.. hahaha
Ampuuunn yaa kalau
sotoy.. muga-muga bermanfaat..
You are free to
choose but you are not free from the consequences of choice
#oleh-oleh
kunjungan ke Waldorf Education Association Singapore
Terima kasih banyak untuk sharing ceritanya. Nyaman sekali membacanya.
BalasHapusSama-sama.. senang bisa belajar banyak hal, termasuk Waldorf ini.. sukses terus ya dalam segala hal untuk kebaikan :)
BalasHapusDari awal antusias, pas di tengah lebih sering angguk angguk. Memang kalau ke anak saya juga lebih ke 'sakarepe' hehe. Happy berusaha menerapkan montessori tapi pas bagian cerita dan nyanyi lebih ingatnya waldorf. Akhirnya pas nengokin sekolah yang didirikan ibu saya, jadi saya garis bawahi ini sekolah follow the child aja mungkin ya. Karena ibu sendiri bikin sekolah sebab di tempat kami belum ada sekolah jarak dekat.
BalasHapusWah.. Terimakasih sudah mampir baca.. Semangat terus ya.. Tidak ada ilmu atau metoda yang paling benar atau salah, semua bergantung pada individunya untuk mengatur ilmu dan metoda tersebut untuk digunakan, diadaptasi dan disesuaikan dengan kebutuhan :)
HapusTerima kasih bu Ivy
BalasHapusSama-sama.. Dengan senang hati..
Hapus