Rabu, 21 November 2018

Ketika Mempersiapkan dan Menentukan Usia Kematangan Anak Masuk SD Bak Menentukan Kesiapan Sebuah Pernikahan

Sebuah tulisan penuh cinta kasih untuk para orang tua yang saya sayangi.. Tulisan ini dibuat berdasar hasil pengamatan dari pengalaman saya selama hampir 20 tahun di dunia PAUD dan pengalaman nyata sebagai ibu dari 3 anak yang saat masuk SD nya berbeda usia (ada yang terlalu cepat, mateng banget, mateng tanggung.. hehehe..). Plus berdasar pula beberapa teori dari para ahli psikolog tentang usia perkembangan anak dan beragam sumber tulisan parenting. Teori memang tidak selalu seindah praktek di lapangannya. Tapi untuk kasus kali ini, ternyata pengalaman saya menunjukkan bahwa teori-teori tersebut saya akui hampir 95% benar semua adanya.


Tulisan ini mungkin juga akan lebih pas untuk para orang tua yang mengincar dan berencana memilih SD yang berkurikulum nasional dan bermetoda konvensional (belajar klasikal, bermurid banyak dengan guru terbatas dan fasilitas pelayanan belajar yang non individual).


Tulisan ini juga dibuat untuk memaparkan alasan yang sejelas-jelasnya tentang mengapa Rumah Montessori selalu konsisten menjawab usia 7 tahun saat masuk SD bagi yang bertanya usia berapa anak matang dan siap masuk SD. Dengan catatan : SD yang ditujunya yang bersistem klasikal konvensional bermurid massal lho ya.. Opini kami bisa berubah menyesuaikan keberadaan kondisi dan usia anak serta sekolah dasar yang dituju bukanlah sekolah dasar bersistem konvensional klasikal.


Kami hampir gak nyentuh bicara tentang kemampuan calistung anak karena itu bukan tiket paling penting bagi kami untuk seorang anak yang masuk SD konvensional. Selain sekolah-sekolah sekarang cukup banyak yang gak pake tes calistung dan mereka akan menerima tanpa ba bi bu saat anak sudah berusia 7 tahun saat masuk SD, juga karena sekolah-sekolah dasar itu pun (sekolah yang baik dan support tentunya) akan siap membantu anak belajar calistung dari tingkat dasar sekalipun. Bagi kami, Rumah Montessori : tiket dan modal yang paling penting untuk bisa masuk ke SD bukan hanya di hi-lite di kemampuannya yang sekedar sudah bisa ngomong dan berdiskusi banyak, duduk anteng, ngerti instruksi dan kecerdasan akademik lainnya. Itu semua penting, tapi hal terpenting yang masih sering dilewat itu adalah bekal modal memastikan sudah terbentuknya ‘mental health’ yang akan membuat anak tidak terpapar mental hectic saat usia sekolah nanti.


Mari kita mulai bercerita ya..


Dear orang tua siswa Rumah Montessori yang kusayang.. 
(orangtua laen boleh juga kok ikut baca.. hehe)


Bulan ini, tepatnya mungkin mulai bulan Oktober an lah ya.. disebut bulan galau sejagat mama (bukan maya ya.. hehe) yang buah hatinya mulai jelang masuk usia nanggung untuk masuk SD atau tidak di setiap tahunnya. Galau itu juga kumat kala banyak berseliweran spanduk open house beserta promo penerimaan siswa baru di SD-SD terdekat. Saat sudah mulai datang berondongan pertanyaan dari sekeliling terutama keluarga dekat yang mempertanyakan atau lebih ngenes lagi ‘judging’ dengan statement : “Eh.. tahun depan adik masuk SD kan ..?” Euleuh.. baru aja 2-3 bulan masuk sekolah tahun ajaran baru.. baruu aja bayar-bayar..  mamak nya sendiri aja belom sempet mikirin karena baru rehat dari keriweuhan back to school nya si anak, ini udah ditodong lagi haha.. ampuuunn..

Santeiii.. Gak apa-apa atuh ih.. itu namanya ‘care’.. perhatian tanda sayang ya Bu.. Pak.. Kuncinya tetep ada di kita, tetap tenang karena itu hanya sebuah colekan lembut pengingat, bukan api penyulut kebakaran. Jangan disalahartikan ya.. Kalau sudah ada yang mengingatkan, step berikutnya adalah tetap tenang supaya keputusan yang diambil tetap objektif dan berdampak baik ke depannya untuk buah hati kita. Bukan baik hanya untuk kita lho ya.. bukan hanya untuk sekedar menyenangkan si penanya.. bukan hanya sekedar menjadikan lebih cepat masuk SD lebih baik dan keren plus dapet julukan si pintar.. bukan hanya karena nyamain dengan kakaknya yang kemaren masuk SD di usia muda gak ada masalah (it’s exactly different! Historis mereka berbeda walau lahir dari satu rahim yang sama sekalipun).. please don’t do that.

Tolong yang dipikirin adalah dampak 10-15 tahun kemudian pada anak terhadap mentalitas nya dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan rutinitas dengan tugas nya sebagai pelajar. Kita, para orang tua  adalah support system yang harus beneran membekali dan mendukung dengan segala fasilitas yang terbaik.



Bentar.. bentar.. Bu, itu judulnya gak salah? Perasaan gak nyambung.. jauh teuing deh kayaknya.. haha..



Enggak laa.. dua-duanya sama-sama ada dalam fase kehidupan manusia (walau tidak semua ya..) dua-duanya juga suka dikampanyekan pemerintah dalam hal usia kesiapan. Masuk SD 7 tahun dan masuk KUA 25-27 tahun. Tapi beneran mirip deh case nya. Benang merahnya : tentang komitmen dan bagaimana supaya bisa mempertahankannya dengan baik.

Yang satu berkomitmen dengan sebuah sekolah yang bakal ‘mengikat’ kita sebagai orang tua dengan pihak sekolah dasar dan dengan segala SOP, tuntutan dan kewajiban di dalamnya. Dibutuhkan individu-individu tangguh bermental baja, bukan sekedar pandai calistung dan akademik lainnya walau itupun termasuk factor yang penting. Karena bukan hanya sekedar anak bisa menguasai pelajaran saja yang akan anak hadapi di sekolah dasar nanti. Tapi akan bermunculan silih berganti masalah-masalah anak usia sekolah 7-9 tahun seperti dikutip dari buku Parents Guide Growing Up 7 – 9 tahun :

-          KEBOSANAN PADA RUTINITAS

Orang dewasa aja sering bosan jalani rutinitas, sama ya anak juga. Ini gak akan lama terjadi saat anak sudah memiliki kematangan karena mereka punya cukup kesadaran bahwa ini tugasnya dan dia akan berupaya menciptakan kondisinya sendiri agar bisa melewatkan kebosanannya. Kalau anak yang belum matang, mereka belum terampil bangun sendiri kendali bosannya karena masih ingin main dan belum sadar tugasnya. Bukan nakal, hanya belum menyadari penuh. Nah jadilah upaya orangtua disini agak berat karena kita juga dituntut tekanan sistem sekolah sedangkan anaknya masih berlatih untuk bisa kooperatif. Lama-lama semakin terus dipaksa anak pun akan semakin malas dan menolak. Sudah mah bosan karena belum tertarik untuk diajari, ditambah pakai acara dipaksa sekolah. Bisa berujung mogok sekolah berkelanjutan dan biasanya orangtua suka berbagi stress ke anak dengan membawa seruan : sudah bayar mahal-mahal kamu gak mau sekolah, itu keterlaluan! Hahaha.. bener apa nggaakk..

-          MOOD SWING (mood belajar on off karena ketidaknyamanan ataupun ketidakseruan sistem pengajaran maupun gurunya) dan histori keterlambatan perkembangan sebelumnya.

-          HAMBATAN PEMAHAMAN : belajar itu susah banget sih!

Karena di bawah usia 7 tahunan belum seutuhnya siap diajari.. belum teachable. Dunia bermainnya masih on.

-          GANGGUAN PERTEMANAN (bullying)

-          MENGKHAWATIRKAN PENAMPILAN FISIK DAN PEER PRESSURE (TEKANAN DARI TEMAN SEBAYA)

Akan ada masalah cukup serius saat di sekolah dasar, dikarenakan masih tersisanya sifat egosentris saat anak terlalu muda masuk ke SD. Ditambah lagi jika saat masa-masa prasekolahnya merasa kurang diterimakan kehadirannya secara apa adanya. Di SD anak akan bertemu teman-teman baru berlatar belakang, berpola pengasuhan dan berasal dari lembaga didik yang lebih beragam dan anak harus dapat segera beradaptasi. Tapi, anak harus dilatih juga untuk berupaya menjadi individu yang mempunyai pendirian pada hal-hal yang baik.

Walau seringkali di cover dengan baik oleh orangtua di rumah, tapi apakah lantas langsung aman di luar sana dari ocehan para manusia spontan? Itu sudah pasti terlanjur duluan masuk ke hati sebelum kita filter.. karena kita gak 24 jam bisa jadi pengawal pribadi buah hati kita.. jiwa  yang harus sudah siap menapaki : menyadari inilah hidup yang sejujurnya..

-          BAPER-AN, EMOSIONAL

Melatih kendali emosi akan perlu waktu lebih lama saat di usia sebelumnya pernah ada riwayat speech delay atau keterlambatan perkembangan lainnya. Ketidakmatangan dalam emosi akan menghambat anak dalam interaksi sosialnya, karena sulit dipahami dan tidak mau memahami.

-          MENGHADAPI PERSAINGAN, NILAI DAN KENAIKAN KELAS

-          BERTEMU KEGAGALAN DAN PENCAPAIAN PRESTASI

Banyak ya masalah anak kita di luar akademiknya? Dan dalam menjalani masalah-masalah di atas, banyak juga yang mengeluh bahwa tingkat stress nya berpindah ke fisik : sakit perut, mual dan pusing-pusing yang berujung gak mau sekolah. *duh ikut mules gak tuh orangtua..



Mirip kan sama persiapan jelang pernikahan.. hehe.. Kalau di sini, individunya gak cukup hanya punya saling cinta terhadap pasangan, walau itu juga bahan dasar yang penting.. Ibarat masuk SD gak cuma bisa calistung lah ya, walau mampu calistung juga perlu.. Pernikahan yang dipersiapkan dengan pembekalan dan modal yang matang dan baik, kemungkinan ikatan pernikahan bisa langgeng-nya lebih lama. Pastinya sudah harus berbicara tentang persiapan kematangan di mental, keimanan, visi misi, pemahaman tugas masing-masing, financial, emosi dan jiwa. Ukuran kematangan seseorang untuk semua aspek ini ditentukan pula salah satunya oleh usia. Semakin matang, biasanya berbanding lurus dengan segala kesiapan jiwa dan mentalnya untuk mengarungi bahtera pernikahan yang komitmen nya lebih serem di sini : bukan sekadar 6 tahun seperti sekolah dasar tapi seumur hidup ya Buuu.. Paak.. hehe.. Naah.. semoga sekarang paham ya nyambungnya ke mana si judul tulisan ini teh..

Bagi yang udah ngejalanin pernikahan yang usianya udah hitungan tahunan, pasti ngerti deh dimana kita sebagai makhluk dewasa matang ini akan menggunakan modal-modal kesiapan/kematangan psikologis kita demi mempertahankan apa yang kadung sudah jadi komitmen kita bersama pasangan.. Seru kan ya? Hehehe.. Kalau gak sabar-sabar amat mah udah mundur.. Kalau gak inget ibadah mah udah bubar jalan.. Kalau ego sudah jauh lebih besar memanggil dan gak ada rem kedewasaan berpikir mah udah putus nyambung putus nyambung puluhan kali.. Kalau cinta ada tapi mental belum siap karena dulu kecepetan nikah di usia muda yang masih rentan-labil-pendek mikir, ngaruhnya bisa ke susah bangun lagi ketika jatuh terpuruk karena perkataan, laku dan apapun itu dari pasangan maupun sekeliling kita. Karena sebagai makhluk dewasa, kita udah dituntut harus siap ngadepin apa-apa sendiri, nelen sendiri, nyelesein sendiri, berubah dan bangun sendiri.. yang laen cuma bisa bantu ngoceh, kepo sama doa doang..



Hampir sama lah yaa sama kebutuhan kematangan anak yang mau jalanin SD di atas.. hehe.. Cuma enaknya, anak SD masih ada support system yaitu orang tuanya. 
Jadi, orang tuanya juga harus ikutan matang jiwa di sini :
- Gak emosian, gak stress-an
- Tenang dan lebih fokus mikir solusi saat ngadepin masalah-masalah anak sekolah yang tersebut di atas daripada memberondong anak dengan labeling negatif yang malah bikin anak merasa semakin buruk
- Pantang menyerah mencari dan  mencoba trik yang smart dalam menghadapi beribu alasan dan ulah
- Punya semangat dan kepercayaan pada kemampuan diri yang jauh lebih besar dari si anak itu sendiri
- Sabar, gak gampang kesulut omongan sana sini tentang anak 
- Selalu punya kasih yang tak habis 
- Terampil bikin happy anak 
Itu beberapa persyaratan khusus bagi sang support system : para orang tua.. 
Sedikit berbagi, saya punya 3 anak.. kebayang energi dan porsi stressful nya berbeda-beda, sedangkan sebagai orangtua harus lebih kuat dan tenang di lapangan. Intinya jangan sampai jatuh sakit baik fisik maupun mental.

Caranya?

Redakan tingkat stress kita dengan membuat kondisi dimana permasalahan anak-anak kita di sekolah tidak akan menghasilkan stress tambahan. Inget yo Mam, urusan dan masalah pemicu stress kita bukan hanya dari anak-anak.. hehe.. masih banyak yang lain! Agak longgar rasanya hidup ini, ketika memiliki anak yang sudah matang dan cukup usia untuk siap belajar di SD.

Kenapa?

Calistung bisa dikejar, tapi jujur aja sejauh pengalaman saya menunjukkan bahwa pada usia-usia di atas 6 tahun 7 bulan, anak biasanya sudah menguasai yang dasar. Ini penting, sehingga mereka akan merasa lebih percaya diri ketika mengikuti semua materi pelajaran sekolah yang mungkin sudah tidak akan didampingi secara individual seperti di Rumah Montessori karena tipikal sekolah yang anak masuki yang bersistem klasikal konvensional, sudah riweuh dengan urusan kurikulum dan target sekolah, bukan perkembangan anak yang lebih penting. Ini merugikan potensi anak-anak kita. Yang sebetulnya ada dan bagus tapi gak bisa kegali hanya karena gak kepegang, akibat kebanyakan anak dan urusan lain.

Lalu apa lagi?

Timbulnya masalah-masalah yang kerap terjadi pada anak usia sekolah 7-9 tahun yang sudah diurai di atas tadi lebih mudah dihadapi dan cepat diselesaikan, karena anak sudah mempunyai modal mental dasar yang cukup untuk ‘bangun sendiri’ atau cukup kuat dengan sendirinya dalam rangka menjalani komitmen belajarnya di sekolah dasar nanti.

Apa sajakah modal mental itu ?

Motivasi internal nya sudah nyala banyak sehingga lebih peka dan sadar pada posisi dan tugas hidup untuk anak seusianya adalah belajar, seperti : sudah gak banyak lagi butuh main mainan, (seharusnya) sudah terpenuhi banyak kebutuhan bergeraknya, jiwanya sudah masuk lebih banyak ke tahap sadar, sudah mau dan siap untuk diajari (teachable), sudah mengerti perasaan ‘malu’ dan sudah banyak mengenal dan mulai berlatih mengendali diri dan emosi yang nantinya penting saat anak berinteraksi bersosialisasi.

Mungkin ada yang ingat, siapa dulu di antara kita alesan gak mau atau males masuk sekolah hanya karena lagi sebel sama temen dan lagi gak mau ketemuan sama dia gara-gara sempet dikatai hal yang tak enak.. hehe.. lalu, kemampuan calistung kah yang bisa menyelesaikan masalah jenis itu?

Pertanyaan lainnya : coba kita analisa, apakah semua masalah di luar akademik tadi bisa diatasi anak lewat kehandalannya dalam calistung? Bisakah baper-an nya dihentikan dengan sekadar anak sudah jagoan berdiskusi tentang banyak hal pengetahuan umum? Bisakah bullying dihadapi hanya dengan modal anak yang sudah bisa jawab soal matematika tingkat tinggi?

Mau sepintar apapun, se-gifted apapun anak, jika mentally, emosi sosial dan kejiwaannya tidak berimbang dengan intelektualitas, individu tersebut tak akan mampu mencapai goal menjadi manusia yang bermanfaat. Kepintarannya hanya akan dipeluk sendirian, yang tahu dia pintar cuma dia, orang lain gak bisa mengerti dia karena emosian, gak tenggang rasa, menutup diri gak mau bergaul, nyiptain apa-apa sendiri, egois dll. Lalu buat apa pinternya? Bukankah ilmu itu untuk diamalkan? Bukankah tugas manusia di muka bumi ini adalah menjadi makhluk yang bermanfaat baik bagi sesama maupun semua makhluk ciptaanNya?



Selain itu anak yang SD nya berusia mulai 6,5 tahun ke atas juga sudah kenyang main dan bergerak dalam melakukan segala kegiatannya karena kebutuhan sensori motoriknya ikut terpenuhi disini. Catatan penting : tolong garis bawahi juga darimana asal KB-TK anak berasal. Kabar baiknya, Rumah Montessori mudah-mudahan mengakomodir kebutuhan itu semua. Dari mulai sistem pembelajarannya sampai ke masalah : hati anak harus happy alias bahagia pada zamannya (masa kecilnya yang gak bakalan balik), kebebasan bergerak saat menjelajah belajar dan bekerja, merasa dihargai dan diakui keberadaannya karena pilihan dan pendapatnya selalu disimak, difasilitasi dan diarahkan bukan dipaksakan, pembentukan karakter perilaku dan tata krama yang tersupervisi karena fungsi fasilitator yang lebih banyak mengamati dan mengarahkan dibanding riweuh ngajarin dan ngebetul-betulin hasil kerjaan murid (karena kami yakin anak bisa berlatih belajar, mengkoreksi diri dan melakukan aktifitas-aktifitas tertentu secara mandiri).

Ketika anak bermain, belajar, bekerja, dan bertumbuh kembang bersama kami di Rumah Montessori, ingin kami pastikan bahwa anak mempunyai kesan dan penilaian terhadap kegiatan belajar dan bekerja itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan tanpa tekanan berat karena mereka sendiri yang ukur semua itu. Ini kunci penting yang akan dibawa di usia-usianya sebelum mengenal sekolah formal. 
Mereka tidak akan kaget, mereka hanya akan beradaptasi perlahan, mindset mereka sudah di block : bahwa belajar itu menyenangkan jadi ketika di sekolah dasar, perasaan itulah yang akan terbawa dan selalu ada di kepala mereka. Kalau sudah happy, otak akan menjadi rileks.. nerima materi apa aja akan lebih mudah terserap masuk.

Sebagai contoh kontroversial yang real : salah satu anak saya menjalani aktivitas KB-TK yang sangat sarat akademik (dari mulai usia 3 tahun nya) serta masuk SD cepat alias terlalu muda, tak membantu banyak ketika dia di SD dan akhirnya harus bertemu sapa dengan semua permasalahan anak usia sekolah dasar di atas tadi. Luar biasa perlu waktu panjang dan cukup rumit untuk dibenahi kembali. Kebutuhan bermain yang belum kenyang disertai dengan kebosanan dan keengganan berpikir focus karena dari mulai 3 tahun, sudah itu-itu terus makanan hariannya : akademik. Padahal soal kecerdasan tidak menjadi masalah. Orangtua stress, anak stress, mungkin juga gurunya ikut stress sebetulnya.. hahaha.. sekarang mah anaknya sudah tenang sentausa dan jiwanya mulai menapak sadar pada tugasnya sabagai pelajar di usianya. Ini yang paling penting. Memiliki otak yang pintar tak akan ada manfaat selama dia belum matang tentang memahami kebutuhan dia belajar itu untuk apa. Tak ada semangat dari dalam diri untuk mencari tahu, tapi hanya demi suruhan orang lain yang tidak banyak berkepentingan pada kehidupannya kelak.



Please do your best decision. Ini semua tentang masa depan putra-putri para orangtua yang saya sayangi. Semua ini bukan hanya untuk jangka pendek, dampaknya akan memanjang sampai belasan tahun kemudian. Kami hanya menyampaikan apa yang wajib disampaikan dari hati tulus kami yang terdalam, bahwa visi misi kami sudah jelas yaitu dalam mengupayakan membentuk individu yang bahagia, tangguh, santun dan cerdas. Kewajiban kami juga untuk mengedukasi para orangtua dan masyarakat melalui jawaban yang kami upayakan sejelas dan sedetil mungkin agar bisa dipahami.



Pada akhirnya..

You are free to choose but you are not free from the consequence. Pilihan ada di tangan masing-masing para orangtua. Bebas pilih mau yang mana.. mau cepet-cepet SD boleh.. mau mateng boleh.. mau nanggung juga boleh.. Semua pilihan ada konsekuensinya masing-masing, silakan untuk bersiap menjalaninya.



Begitulah, para orangtua murid Rumah Montessori ku yang tersayang..

Sekali lagi tidak ada tendensius dari kami tim Rumah Montessori atau maksain putra-putrinya untuk masuk usia SD sesuai dengan opini dan paparan kami di atas ya..

Kami hanya ingin mencerahkan dan membantu memudahkan kalian semua dalam berperan sebagai orangtua supaya siap, matang juga tenang dalam mendampingi anak dengan minim stress agar kehidupan kita tetap berjalan penuh kebermanfaatan, sehat, bahagia dan tetap positif. Mudah-mudahan, kelak putra-putri kitapun bisa menjadi manusia seperti itu adanya.

Life should be balance.. Makin bertambahnya usia kita, masalah makin banyak datang tanpa diundang. Mudah-mudahan kita bisa mengatur untuk sedikit rileks dan mengurangi tumpukan masalah, salah satunya mungkin dengan mendampingi anak yang minim stress saat usia sekolah mereka agar tetap tersedia ruang gerak bagi masalah penting lainnya untuk bisa kita tangani dengan baik pula.



Ayolah.. Jangan lupa bahagia ya.. 

Remember please, life is good.. please be in it..  
by : Ivy Maya Savitri




Senin, 15 Oktober 2018

Waldorf & Montessori di Mataku




Buah tangan dari kunjungan tim guru Rumah Montessori ke Singapore Waldorf Steiner Education Association (Rabu 26 Sept 2018)

(saran : harap teruskan mencari info dan belajar lebih banyak dan langsung dari praktisi dan ahli lainnya)

Ceritanya kami tim guru Rumah Montessori  diberikan kesempatan untuk bisa melakukan kunjungan belajar ke Singapore Waldorf Steiner Education Association. Berbulan-bulan sebelumnya kami menyiapkan dan mengirim email permohonan kepada cukup banyak penyelenggara pendidikan diluar genre sekolah kami (Montessori). Kami berharap bisa dapat sambutan dan izin untuk sharing bareng tentang metoda pendidikan apapun itu.
Metoda pendidikan Reggio Emilia dan Waldorf lah yang saat itu kami dambakan bisa kami peroleh banyak informasinya.

Alhamdulillah gayung bersambut. Email menggembirakan yang ditunggu sejak lama, kami terima dengan perasaan berbunga-bunga. Permohonan kami disambut baik dan kunjungan kami pun ditunggu oleh staf Singapore Waldorf Steiner Education Association. Wiiiihh.. puji syukur pisaann..

Saya gak akan memaparkan detail apa yang diperoleh di sana karena selain sudah ada perjanjian tidak akan publish terlalu banyak, saya hanya ingin menyampaikan beberapa isi pikiran sesuai opini yang ada di kepala saya aja. Jadi ya.. jangan ditelan  bulat-bulat apa yang saya paparkan disini karena boleh jadi akan berbeda dengan opini orang lain diluar sana.

Sengaja saya posting juga di blog ini ‘common question’ yang datang ke saya terkait dengan oleh-oleh apa yang bisa dibagi setelah kunjungan belajar ini.
Mohon baca dan pahami juga saran di atas ya (yang di bawah judul) sebelum scrolling baca ke bawah J
Pertanyaan yang diposting ini saya pilih karena mungkin bisa mewakili semua pertanyaan yang berhubungan tentang pendapat pribadi saya dan sistem Waldorf terkait saya sebagai praktisi atau pengguna metoda Montessori..

Please enjoy and read this with relax.. mudah-mudahan bermanfaat buat menambah wawasan.

QUESTION (Pertanyaan via chat Whatsapp) :
Ikihkan aku lg belajar ttg waldorf; dr sisi parenting nya tuh aku suka krn dia slow parenting
Beberapa inline sama montessori, tapi ada jg yg bertolak belakang
Kl montess kan inline sama neurosains, secara background dr maria kan memang kesana 
Kl waldorf kan filsuf, jadi imajinasi dan art diatas segalanya 

Dan 0-7 th samsek no akademik, berhitung, baca dll, unstructure play dan no prepared environment, no instruction.
Nah itu kan beda bgt ya, secara di montess kan kita kudu aware sama masa peka, stimulasi, not over stimulated, structure aparatus dll.
Karena menurutnya itu nanti bakal jadi problem saat anak anak besar, krn tidak menjadi anak yg balance secara emosi 
Nah, itu yg jadi pikiran ku
Kalau dari mbak ivy, yg udah fasih montessori dan jg orang tua dari 3 anak; itu bagaimana kira kira?


ANSWER (Jawaban oleh Ivy Maya Savitri – Rumah Montessori BSD) :
- edited & lebih lengkap dari aslinya - 

Coba maparin menurut pendapat ku aja ya.. (pendapat orang lain, cari  terus aja.. biar tambah bingung.. hahaha.. nggak laah.. biar tambah pinteerr dong tentunya hihihi..)

Intinya seluruh metoda pembelajaran yg ada di seluruh dunia ini, entah itu Waldorf, Reggio Emilia, Montessori, Froebel, Gardner dll.. semua ciri khasnya gampang ditebak.. telusuri saja karakater dan history of life nya tokoh-tokoh pelopor tsb pasti amat sangat tercermin pada pengaplikasian metodanya..

Gak usah jauh-jauh.. analogi nya banyak.. contohnya saat milih sekolah.. kalau kita cukup kenal kaya gimana gaya serta karakter owner nya atau kepsek nya lah minimal (kalau owner nya ga pegang banget tu sekolah) itu pasti keliatan banget running sekolahnya dan atmosphere nya.. karena energi yg mendominasinya ga akan bisa sembunyi dan pasti menular ke para praktisi lapangan nya (guru-guru & stafnya).


Setiap metoda pembelajaran yg dicetuskan dari zaman ke zaman itu udah pasti saling berkaitan tapi biasanya saling menyempurnakan karena mau gak mau harus menjawab kebutuhan zamannya.

Jadi wajar, Waldorf & Reggio Emilia & Froebel mengusung metoda yg mirip : tapi mereka pada masanya sudah disebut membuat terobosan baru dengan free play nya karena selama masa itu sistem pendidikan bersifat kaku gak dinamis & terlalu doktrin.

Mereka sama-sama ingin bikin belajar itu untuk sepanjang hayat, kedamaian dan humanis jadi starting point nya beneran lebih hati-hati, jangan menakutkan dan it must be fun and base on freedom. Harus rasa dan tahu bahwa freedom itu basic needs sebelum kenal ke rules (dan ini inline banget sama milestone alias sensitive period nya manusia, rules mulai bisa dipahami di usia anak jelang 5-6 tahun, jadi di 7 tahun goalnya : mulai matang).
Walau aku gak sampai dalem gali ttg Waldorf, aku cukup paham dia itu apa dan kenapa begitu dengan kacamataku.

Jadi, gak terlalu setuju juga kalau Waldorf dikatakan tidak prepared environment, tidak ada milestone, no time table, no instructions.

Setting kelas yang adem, hommy, sederhana, penuh sentuhan sensorial lewat banyaknya penggunaan kain halus akan lebih menghaluskan hati kubilang, mirip lah sama montessori yang juga penuh filosofi tapi rasional logik banget. Materialnya mereka banyak terbuat dari kayu-kayu natural yang bentuknya dasaar alami banget supaya anak menciptakan sendiri daya cipta kreasinya, boneka aja mukanya dibikin polos supaya anak mampu membuat imajinasinya sendiri tentang emosi apa yg diinginkan. Bercerita aja, gurunya nggak heboh ala-ala guru paud biasanya yang ekspresif karena membiarkan anak-anak untuk menjelajah dan membuat sendiri imaji yang mereka inginkan. Kalau kata orang Sunda mah : bebaskeun weeh..
Painting, drawing, dancing, story telling, creating and baking (preparing & cooking) adalah materi kegiatan mereka yang selalu ada di time table mereka dalam seminggu.

Dan selalu ada instruksi saat tiba perpindahan time table, mereka menandai selesainya suatu aktivitas utk pindah ke aktivitas lainnya dengan lagu.. smooth banget.. menurut mereka, gak usah bikin shock stress anak laa.. Wong cuma mau ngajak anak pindah pusat perhatian doang. Instruksi beresin alat juga ada, instruksi saat anak-anak dengan suka rela deketin guru karena mau bantuin guru yang lagi preparing food for class juga pasti ada dong.. masa iya mau buat suatu masakan enak yang bisa dinikmati orang lain sama sekali gak pake SOP alias prosedur yang harus diinstruksikan dengan benar.. hehe.. ya ndak thoo.. nggak gitu-gitu amat..

Jadi, guru dalam kelas Waldorf itu gak kaya di Montessori yang lebih fokus sama observasi dan minimal intervensi anak. Guru Waldorf itu ya selain mengamati mereka juga sibuk dengan pekerjaannya sendiri, misal ada yang nge-art, ada yang bebikinan sesuatu dari kain, kayu atau material lain, ada juga yang di dapur sibuk nyiapin makanan. Hehe.. jadi inget kelakuan aku sendiri di Rumah Montessori.. saat guru-guru mengobservasi, aku mah suka sibuk nyikat WC atau tempat nyuci tangan.. dan itu beneran dideketin anak, ditanyain, sama ada juga yang mau nyoba ikutan kalau gak keburu digebah sama guru lainnya karena belom beresin alat.. hahaha.. seru ya..
Menurut ku saat anak tertarik ngedeketin orang dewasa yang sedang bekerja dan tertarik bantu, ini jelas-jelas menstimulasi willing (tangan kaki) untuk bekerja dan heart (hati) nya banget ya.. karena ada empati, perhatian, niat tulus pada saat join in..
Ngelink banget sama sebuah quote Dalai Lama : when you educate a young age don't forget to educate their hearts. Mantull dah..!!

Emang bener banget karena nanem kebaikan dan kehalusan hati itu lama banget panennya. 

Sedangkan akademik, sekali diajarkan di usia yg tepat (7-14) itu melesat cepat dikuasai.. tapi buat apa kalau hati mereka gak punya empathy.

Free play nya Waldorf, Reggio Emilia dan Froebel dengan spielgaben nya juga penting banget itu buat imaginasi.. dan lately montessori nyempurnain alat-alat spielgaben itu agar lebih jelas peruntukkan dan dipahami tujuan nya.

Kaya Lego.. dulu dari kayu lalu plastic tapi masih sederhana bentuk-bentuk nya lama-lama dibikin juga figurin terus bentuk-bentuk lengkung yg makin membuat mirip dengan bentuk benda aslinya.

Itu sih yang diusung Waldorf (lagi-lagi menurut kacamataku, disarankan untuk perlu bahas dan cari tahu langsung sama praktisinya)

thank you 

Naaa.. montessori mah sepertinya menyempurnakan bagian material tools ajar.. dia basic nya kan dokter, engineer, secara akademik katagori nya scientist lah.. pasti punya concern nya masing-masing. Lihat aja preparing nya kemana..

Kalau filosofi kehidupan nya kurang lebih sama. End point nya : happiness inside, no competition coz it is a basic of conflict and war, peace education.

Pas kutanya tentang apakah guru Waldorf dilatih cara asses, observe dan planning, ada kok semua panduannya dan disampaikan bahwa semuanya back to psychological milestones base.

Tinggal milih aja.. mau yang visualy jelas keliatan organized, logically, structured tapi tetep gak abaikan karakter ya montessori.. 

Atau mau yang selow, adem, art lebih banyak mengasah kehalusan hati dan emotional management tapi gak abai akademik juga kok, ya Waldorf.

Keduanya sama-sama selalu narik ke sustainable education juga, selalu ada menanamkan pembelajaran bahwa manusia harus dapet minimal life skills untuk bisa menyediakan sendiri kebutuhan pokoknya (contohnya seperti : pengenalan aktivitas merajut, menjahit à untuk sandang, farming, baking dan cooking à untuk pangan, kerajinan tangan kayu atau carpenter activities à untuk papan).

Trend yang aku bilang masih smooth untuk dibawa ke transisi educulture di kita sepertinya masih montessori, selain menjawab kebutuhan zaman now juga metoda jadul yang masih akademik oriented à masih bisa keliatan diutamakan di montessori (which is academic is still a big issue for Indonesian parents).

Kalau Waldorf, suatu hari juga akan menjamur tapi perlu agak kenceng sosialisasinya dan butuh ortu yang lebih tough, komit, idealis plus konsisten dan siap dilabel anti mainstream.

Mirip la kita Indonesia ama Singapore.. Singapore itu kan mostly sekolahannya akademik banget, jd tipikal Waldorf School pasti minor banget masih masuk katagori semi atau full community homeschooling.. Dan kita kemarin sharing : tetep konsisten idealistis aja kalau emang udah yakin sama apa yang kita mau selama kita gak ngerugiin pihak lain. Toss dong.. hahaha..

Kalau aku pribadi, jujur.. nerapin di anak-anak kandungku pasti nano-nano.. yg aku pegang kuat cuma just following the child, tiap anak beda kebutuhan nya dan metoda nya. Tapi mostly montessori masih kepake banyak dan aku juga love art and nature.. makanya angguk-angguk pas ketemu Waldorf.

Sedikit banyak ya sama aja lah untuk penerapan  anak-anak di RumahMontessori juga..

Pesan dariku - entah dirimu perlu atau tidak.. hehe.. : yang penting jangan selalu merasa paling benar dalam meyakini apapun..

Para tokoh pelopor nya juga punya ego masing-masing dalam meyakini dan mengusung metodanya masing-masing. Wajar.. da itu mah emang basic attitude nya manusia. Begitu juga fans and followers nya.. suka keukeuh gak jelas belain idolanya.. semakin banyak followers semakin memastikan kepopuleran dan mengkonfirmasi segalanya lebih dan paling baik. Padahal.. lebih baik biasa-biasa aja laa.. kenali lebih banyak lagi yang lain deh.. please always be in wisdom journey.

Aku juga lagi terus belajar supaya bisa  selalu berhati-hati, jangan terjebak untuk berlebihan meyakini dalam hal apapun sampai-sampai gak mau tengok kemana-mana.. hehehe..

Aaaahh.. bener kan panjang jadinya..

Entah lah konten ini sesuai harapan tidak sama yang dirimu tanya.. hahaha

Ampuuunn yaa kalau sotoy.. muga-muga bermanfaat..

You are free to choose but you are not free from the consequences of choice

#oleh-oleh kunjungan ke Waldorf Education Association Singapore