- Penerapan
dari metoda tokoh-tokoh terdahulu yang mempengaruhi Montessori seperti :
-
Jean Itard (1775-1838) à “Education of Sense”
Saya
percaya bahwa masa sensitif anak untuk belajar sesuatu, berbeda setiap anaknya
dan dapat menjadi berkurang esensinya ketika masa sensitif itu telah lewat
(atau bahkan akan kurang berhasil)
-
Edouard Seguin (1812-1880) à “Education Through Movement”
Anak-anak
memiliki energi yang luar biasa untuk bergerak dan tidak pernah terlihat lelah,
karena itu adalah perioda sensitifnya mereka. Ketika mereka bergerak, saat
itulah otak-otak mereka bekerja dan merupakan waktu yang tepat untuk
mempelajari sesuatu.
Saya coba
ilustrasikan sebuah contoh :
Di suatu
sekolah sedang belajar tentang ‘IKAN’. Menurut saya, anak-anak akan lebih
senang dan materi akan lebih cepat ditangkap ketika mereka bersama-sama masuk
ke dalam kolam ikan dan mencoba menangkap ikan sambil mempelajari banyak hal
seperti tempat hidupnya, bagian tubuhnya, caranya berenang, tekstur kulitnya,
sifat air dan lain-lain. Selain itu mereka pun jadi mendapat pengalaman
bagaimana caranya berjalan di atas air, membungkuk, menangkap, menjaga
keseimbangan, dan lain-lain. Mereka akan berteriak kegirangan, menyebut apapun
yang mereka lihat dan rasakan (kemampuan verbal
terlatih), saling memanggil temannya, bermain cipratan-cipratan air dengan
teman-temannya (social aspect),
sentuhan pada macam-macam tekstur (sensorial
aspect) , dan lain-lain. Banyak hal yang mereka pelajari dan begitu banyak
pengalaman yang didapat melalui gerakan. Tentu tidak sesimpel judul materinya.
-
Jean Jacques Rousseau (1712-1778) à “Education Through Sense”
Inilah
salah satu pernyataan yang saya sepakati juga, bahwa anak belajar melalui
seluruh inderanya. Di sinilah letak dimana anak-anak benar-benar harus
dirangsang dan dilatih terus inderanya agar berkembang optimal. Indera yang
optimal akan sangat membantu anak dalam mempelajari segala sesuatunya. Hal ini
tertuang dengan jelas dan lengkap pada alat-alat edukatif Montessori dalam area
Sensorial. Indera adalah ‘jendela’ untuk belajar.
Sebagai
contoh, kita tidak akan dapat membaca bila indera penglihatan untuk mengenal
simbol huruf, telinga untuk mendengar bunyi huruf, dan tangan untuk merasakan
arah bentuk simbol huruf semuanya tidak terlatih dan berfungsi dengan baik.
Sampai
detil Maria Montessori menciptakan alat-alatnya untuk keperluan itu dan disusun
sedemikian rupa dari yang konkrit hingga abstrak dan dari yang mempunyai tujuan
secara tak langsung sampai yang mempunyai tujuan secara langsung (yaitu dari
mulai latihan-latihan di area Keterampilan Hidup, lalu area Stimuli Indera
dengan latihan sound boxes, touch board,
shape and dimension tools. Di area Bahasa dengan latihan metal insets design, sand paper alphabet
hingga Large Moveable Alphabet serta pink series).
Metoda
Montessori pun menekankan bahwa ‘process
is more important than result’. Artinya anak tidak diajarkan sesuatu yang
berbau instant, tapi lebih dari itu pemahaman konsep lebih diutamakan. Saya
percaya bahwa ketika konsep dasar telah dikuasai, seseorang akan lebih mudah
untuk menyelesaikan masalah yang lebih rumit sekalipun. Saya pun setuju dengan
pelaksanaan metoda ilmu pengetahuan terapan yang sudah mulai dilakukan beberapa sekolah,
sepertinya lebih efektif untuk ditangkap oleh para siswanya
-
Johann Pestalozzi
Kelanjutan
dari “Education Through Sense” yang
dilatih dan dikembangkan dengan tahapan dari yang sederhana ke yang lebih
kompleks.
Sebagai
contoh penataan alat di area Exercise for
Practical Life, akan kita temukan bahwa yang diperkenalkan dan disimpan
paling awal adalah menuang biji besar, biji kecil, lalu air. Menunjukkan bahwa
anak akan lebih mudah dan tidak tumpah-tumpah dalam menuangkan biji-biji yang
relatif mudah dikendalikan daripada menuangkan air (untuk tingkatan yang lebih
sulit).
Penggunaan ‘didactic material’ dalam Metoda
Montessori seperti yang telah saya ulas sebelumnya pada bagian tokoh-tokoh yang
berpengaruh, memang melengkapi ‘kesempurnaan metoda Montessori’, namun ada hal
lain yang lebih penting yang ingin penulis tuang dalam essai ini. Bahwa sekali
lagi :
The materials are not magic and do not, by themselves,
provide an environment responsive to the needs of the young child. The
Montessori philosophy is the most important ingredient in this method, with the
materials serving only as tools for its implementation
(Elizabeth G. Hainstock, 1986)
Jadi, apapun yang
dipertentangkan oleh para pengkritik Montessori sepertinya saya mulai bisa
berbicara lebih banyak bahwa kekuatan metoda ini ada pada filosofinya dan
kelebihannya ada pada alat-alatnya.
Seperti kita ketahui, metoda
ini kebanyakan dikritik pada bagian alat-alatnya, dinamika sosial, kreativitas,
fantasi, masalah adaptasi di sekolah konvensional dan metoda yang sudah kuno.
Sebagai orang yang pernah mempunyai pengalaman sendiri terjun dan berkecimpung
dalam metoda ini dan sudah mempunyai cukup banyak ‘lulusan pra sekolah
Montessori’, semuanya dapat terjawab dengan jelas bahwa :
Alat-alat jelas mempunyai arti
penting untuk melatih dan mengoptimalkan kemampuan kognitif anak. Kelas vertical grouping (mix age 2-6 y.o)
jelas memberikan pangalaman sosial yang berbeda pada anak yang berada dalam
kelas dengan usia homogen. Masalah-masalah sosial di dalamnya lebih kompleks,
sehingga anak akan mempunyai cara dan solusi tersendiri untuk menghadapinya.
Kreativitas anak-anak
Montessori justru berkembang dengan baik karena mereka tetap diberi kesempatan
untuk itu. Kreativitas yang selama ini ada dalam benak orang sepertinya masih
tentang hal-hal yang berbau sesuka-sukanya dan bebas sebebasnya. Kesempatan itu
tetap diberikan, tapi kreativitas yang positif adalah ketika seseorang telah
mengetahui aturan main sesuatu, kemudian dia mengembangkannya. Seperti yang
diungkapkan oleh Dr. Dorothy Einon (2002): Ketika
anak Anda pertama membuka piano dan mengetuk-ngetuk tutsnya, dia tidak sedang
bermain musik. Untuk menjadi musisi kreatif, dia harus memahami bahasa musik
dan harus berlatih keterampilan untuk memainkan alat musik atau menyanyi
mengikuti nada. Pembedaan antara melakukan suatu aksi dan kreativitas murni
dijumpai dalam semua bentuk ekspresi artistik
Anak-anak Montessori yang
pernah saya hadapi juga nampaknya belum pernah ada masalah dengan fantasi.
Mereka layaknya anak-anak pada umumnya tetap senang bermain peran dan menerima
dengan wajar cerita-cerita berbau dongeng, karena saya percaya bahwa secara
naluriah dan alamiah imajinasi dalam diri anak sudah ada. Seperti juga yang
dikemukakan oleh Dr. Richard C. Woolfson (2002), bahwa anak pada usia
perkembangan 13 bulan, dia mulai dapat menunjukkan imajinasi dan pada usia 14
bulan mulai dapat mengembangkan imajinasi dalam permainannya. Hanya saja, ada
yang terekspos secara berlebihan dan ada yang wajar-wajar saja. Menurut saya,
pemberian ruang gerak yang sesuai dengan kapasitas anak untuk berimajinasi
adalah kata kunci agar anak tidak terjebak dalam dunia khayalan.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar