Pages

Senin, 15 Oktober 2018

Waldorf & Montessori di Mataku




Buah tangan dari kunjungan tim guru Rumah Montessori ke Singapore Waldorf Steiner Education Association (Rabu 26 Sept 2018)

(saran : harap teruskan mencari info dan belajar lebih banyak dan langsung dari praktisi dan ahli lainnya)

Ceritanya kami tim guru Rumah Montessori  diberikan kesempatan untuk bisa melakukan kunjungan belajar ke Singapore Waldorf Steiner Education Association. Berbulan-bulan sebelumnya kami menyiapkan dan mengirim email permohonan kepada cukup banyak penyelenggara pendidikan diluar genre sekolah kami (Montessori). Kami berharap bisa dapat sambutan dan izin untuk sharing bareng tentang metoda pendidikan apapun itu.
Metoda pendidikan Reggio Emilia dan Waldorf lah yang saat itu kami dambakan bisa kami peroleh banyak informasinya.

Alhamdulillah gayung bersambut. Email menggembirakan yang ditunggu sejak lama, kami terima dengan perasaan berbunga-bunga. Permohonan kami disambut baik dan kunjungan kami pun ditunggu oleh staf Singapore Waldorf Steiner Education Association. Wiiiihh.. puji syukur pisaann..

Saya gak akan memaparkan detail apa yang diperoleh di sana karena selain sudah ada perjanjian tidak akan publish terlalu banyak, saya hanya ingin menyampaikan beberapa isi pikiran sesuai opini yang ada di kepala saya aja. Jadi ya.. jangan ditelan  bulat-bulat apa yang saya paparkan disini karena boleh jadi akan berbeda dengan opini orang lain diluar sana.

Sengaja saya posting juga di blog ini ‘common question’ yang datang ke saya terkait dengan oleh-oleh apa yang bisa dibagi setelah kunjungan belajar ini.
Mohon baca dan pahami juga saran di atas ya (yang di bawah judul) sebelum scrolling baca ke bawah J
Pertanyaan yang diposting ini saya pilih karena mungkin bisa mewakili semua pertanyaan yang berhubungan tentang pendapat pribadi saya dan sistem Waldorf terkait saya sebagai praktisi atau pengguna metoda Montessori..

Please enjoy and read this with relax.. mudah-mudahan bermanfaat buat menambah wawasan.

QUESTION (Pertanyaan via chat Whatsapp) :
Ikihkan aku lg belajar ttg waldorf; dr sisi parenting nya tuh aku suka krn dia slow parenting
Beberapa inline sama montessori, tapi ada jg yg bertolak belakang
Kl montess kan inline sama neurosains, secara background dr maria kan memang kesana 
Kl waldorf kan filsuf, jadi imajinasi dan art diatas segalanya 

Dan 0-7 th samsek no akademik, berhitung, baca dll, unstructure play dan no prepared environment, no instruction.
Nah itu kan beda bgt ya, secara di montess kan kita kudu aware sama masa peka, stimulasi, not over stimulated, structure aparatus dll.
Karena menurutnya itu nanti bakal jadi problem saat anak anak besar, krn tidak menjadi anak yg balance secara emosi 
Nah, itu yg jadi pikiran ku
Kalau dari mbak ivy, yg udah fasih montessori dan jg orang tua dari 3 anak; itu bagaimana kira kira?


ANSWER (Jawaban oleh Ivy Maya Savitri – Rumah Montessori BSD) :
- edited & lebih lengkap dari aslinya - 

Coba maparin menurut pendapat ku aja ya.. (pendapat orang lain, cari  terus aja.. biar tambah bingung.. hahaha.. nggak laah.. biar tambah pinteerr dong tentunya hihihi..)

Intinya seluruh metoda pembelajaran yg ada di seluruh dunia ini, entah itu Waldorf, Reggio Emilia, Montessori, Froebel, Gardner dll.. semua ciri khasnya gampang ditebak.. telusuri saja karakater dan history of life nya tokoh-tokoh pelopor tsb pasti amat sangat tercermin pada pengaplikasian metodanya..

Gak usah jauh-jauh.. analogi nya banyak.. contohnya saat milih sekolah.. kalau kita cukup kenal kaya gimana gaya serta karakter owner nya atau kepsek nya lah minimal (kalau owner nya ga pegang banget tu sekolah) itu pasti keliatan banget running sekolahnya dan atmosphere nya.. karena energi yg mendominasinya ga akan bisa sembunyi dan pasti menular ke para praktisi lapangan nya (guru-guru & stafnya).


Setiap metoda pembelajaran yg dicetuskan dari zaman ke zaman itu udah pasti saling berkaitan tapi biasanya saling menyempurnakan karena mau gak mau harus menjawab kebutuhan zamannya.

Jadi wajar, Waldorf & Reggio Emilia & Froebel mengusung metoda yg mirip : tapi mereka pada masanya sudah disebut membuat terobosan baru dengan free play nya karena selama masa itu sistem pendidikan bersifat kaku gak dinamis & terlalu doktrin.

Mereka sama-sama ingin bikin belajar itu untuk sepanjang hayat, kedamaian dan humanis jadi starting point nya beneran lebih hati-hati, jangan menakutkan dan it must be fun and base on freedom. Harus rasa dan tahu bahwa freedom itu basic needs sebelum kenal ke rules (dan ini inline banget sama milestone alias sensitive period nya manusia, rules mulai bisa dipahami di usia anak jelang 5-6 tahun, jadi di 7 tahun goalnya : mulai matang).
Walau aku gak sampai dalem gali ttg Waldorf, aku cukup paham dia itu apa dan kenapa begitu dengan kacamataku.

Jadi, gak terlalu setuju juga kalau Waldorf dikatakan tidak prepared environment, tidak ada milestone, no time table, no instructions.

Setting kelas yang adem, hommy, sederhana, penuh sentuhan sensorial lewat banyaknya penggunaan kain halus akan lebih menghaluskan hati kubilang, mirip lah sama montessori yang juga penuh filosofi tapi rasional logik banget. Materialnya mereka banyak terbuat dari kayu-kayu natural yang bentuknya dasaar alami banget supaya anak menciptakan sendiri daya cipta kreasinya, boneka aja mukanya dibikin polos supaya anak mampu membuat imajinasinya sendiri tentang emosi apa yg diinginkan. Bercerita aja, gurunya nggak heboh ala-ala guru paud biasanya yang ekspresif karena membiarkan anak-anak untuk menjelajah dan membuat sendiri imaji yang mereka inginkan. Kalau kata orang Sunda mah : bebaskeun weeh..
Painting, drawing, dancing, story telling, creating and baking (preparing & cooking) adalah materi kegiatan mereka yang selalu ada di time table mereka dalam seminggu.

Dan selalu ada instruksi saat tiba perpindahan time table, mereka menandai selesainya suatu aktivitas utk pindah ke aktivitas lainnya dengan lagu.. smooth banget.. menurut mereka, gak usah bikin shock stress anak laa.. Wong cuma mau ngajak anak pindah pusat perhatian doang. Instruksi beresin alat juga ada, instruksi saat anak-anak dengan suka rela deketin guru karena mau bantuin guru yang lagi preparing food for class juga pasti ada dong.. masa iya mau buat suatu masakan enak yang bisa dinikmati orang lain sama sekali gak pake SOP alias prosedur yang harus diinstruksikan dengan benar.. hehe.. ya ndak thoo.. nggak gitu-gitu amat..

Jadi, guru dalam kelas Waldorf itu gak kaya di Montessori yang lebih fokus sama observasi dan minimal intervensi anak. Guru Waldorf itu ya selain mengamati mereka juga sibuk dengan pekerjaannya sendiri, misal ada yang nge-art, ada yang bebikinan sesuatu dari kain, kayu atau material lain, ada juga yang di dapur sibuk nyiapin makanan. Hehe.. jadi inget kelakuan aku sendiri di Rumah Montessori.. saat guru-guru mengobservasi, aku mah suka sibuk nyikat WC atau tempat nyuci tangan.. dan itu beneran dideketin anak, ditanyain, sama ada juga yang mau nyoba ikutan kalau gak keburu digebah sama guru lainnya karena belom beresin alat.. hahaha.. seru ya..
Menurut ku saat anak tertarik ngedeketin orang dewasa yang sedang bekerja dan tertarik bantu, ini jelas-jelas menstimulasi willing (tangan kaki) untuk bekerja dan heart (hati) nya banget ya.. karena ada empati, perhatian, niat tulus pada saat join in..
Ngelink banget sama sebuah quote Dalai Lama : when you educate a young age don't forget to educate their hearts. Mantull dah..!!

Emang bener banget karena nanem kebaikan dan kehalusan hati itu lama banget panennya. 

Sedangkan akademik, sekali diajarkan di usia yg tepat (7-14) itu melesat cepat dikuasai.. tapi buat apa kalau hati mereka gak punya empathy.

Free play nya Waldorf, Reggio Emilia dan Froebel dengan spielgaben nya juga penting banget itu buat imaginasi.. dan lately montessori nyempurnain alat-alat spielgaben itu agar lebih jelas peruntukkan dan dipahami tujuan nya.

Kaya Lego.. dulu dari kayu lalu plastic tapi masih sederhana bentuk-bentuk nya lama-lama dibikin juga figurin terus bentuk-bentuk lengkung yg makin membuat mirip dengan bentuk benda aslinya.

Itu sih yang diusung Waldorf (lagi-lagi menurut kacamataku, disarankan untuk perlu bahas dan cari tahu langsung sama praktisinya)

thank you 

Naaa.. montessori mah sepertinya menyempurnakan bagian material tools ajar.. dia basic nya kan dokter, engineer, secara akademik katagori nya scientist lah.. pasti punya concern nya masing-masing. Lihat aja preparing nya kemana..

Kalau filosofi kehidupan nya kurang lebih sama. End point nya : happiness inside, no competition coz it is a basic of conflict and war, peace education.

Pas kutanya tentang apakah guru Waldorf dilatih cara asses, observe dan planning, ada kok semua panduannya dan disampaikan bahwa semuanya back to psychological milestones base.

Tinggal milih aja.. mau yang visualy jelas keliatan organized, logically, structured tapi tetep gak abaikan karakter ya montessori.. 

Atau mau yang selow, adem, art lebih banyak mengasah kehalusan hati dan emotional management tapi gak abai akademik juga kok, ya Waldorf.

Keduanya sama-sama selalu narik ke sustainable education juga, selalu ada menanamkan pembelajaran bahwa manusia harus dapet minimal life skills untuk bisa menyediakan sendiri kebutuhan pokoknya (contohnya seperti : pengenalan aktivitas merajut, menjahit à untuk sandang, farming, baking dan cooking à untuk pangan, kerajinan tangan kayu atau carpenter activities à untuk papan).

Trend yang aku bilang masih smooth untuk dibawa ke transisi educulture di kita sepertinya masih montessori, selain menjawab kebutuhan zaman now juga metoda jadul yang masih akademik oriented à masih bisa keliatan diutamakan di montessori (which is academic is still a big issue for Indonesian parents).

Kalau Waldorf, suatu hari juga akan menjamur tapi perlu agak kenceng sosialisasinya dan butuh ortu yang lebih tough, komit, idealis plus konsisten dan siap dilabel anti mainstream.

Mirip la kita Indonesia ama Singapore.. Singapore itu kan mostly sekolahannya akademik banget, jd tipikal Waldorf School pasti minor banget masih masuk katagori semi atau full community homeschooling.. Dan kita kemarin sharing : tetep konsisten idealistis aja kalau emang udah yakin sama apa yang kita mau selama kita gak ngerugiin pihak lain. Toss dong.. hahaha..

Kalau aku pribadi, jujur.. nerapin di anak-anak kandungku pasti nano-nano.. yg aku pegang kuat cuma just following the child, tiap anak beda kebutuhan nya dan metoda nya. Tapi mostly montessori masih kepake banyak dan aku juga love art and nature.. makanya angguk-angguk pas ketemu Waldorf.

Sedikit banyak ya sama aja lah untuk penerapan  anak-anak di RumahMontessori juga..

Pesan dariku - entah dirimu perlu atau tidak.. hehe.. : yang penting jangan selalu merasa paling benar dalam meyakini apapun..

Para tokoh pelopor nya juga punya ego masing-masing dalam meyakini dan mengusung metodanya masing-masing. Wajar.. da itu mah emang basic attitude nya manusia. Begitu juga fans and followers nya.. suka keukeuh gak jelas belain idolanya.. semakin banyak followers semakin memastikan kepopuleran dan mengkonfirmasi segalanya lebih dan paling baik. Padahal.. lebih baik biasa-biasa aja laa.. kenali lebih banyak lagi yang lain deh.. please always be in wisdom journey.

Aku juga lagi terus belajar supaya bisa  selalu berhati-hati, jangan terjebak untuk berlebihan meyakini dalam hal apapun sampai-sampai gak mau tengok kemana-mana.. hehehe..

Aaaahh.. bener kan panjang jadinya..

Entah lah konten ini sesuai harapan tidak sama yang dirimu tanya.. hahaha

Ampuuunn yaa kalau sotoy.. muga-muga bermanfaat..

You are free to choose but you are not free from the consequences of choice

#oleh-oleh kunjungan ke Waldorf Education Association Singapore



6 komentar:

  1. Terima kasih banyak untuk sharing ceritanya. Nyaman sekali membacanya.

    BalasHapus
  2. Sama-sama.. senang bisa belajar banyak hal, termasuk Waldorf ini.. sukses terus ya dalam segala hal untuk kebaikan :)

    BalasHapus
  3. Dari awal antusias, pas di tengah lebih sering angguk angguk. Memang kalau ke anak saya juga lebih ke 'sakarepe' hehe. Happy berusaha menerapkan montessori tapi pas bagian cerita dan nyanyi lebih ingatnya waldorf. Akhirnya pas nengokin sekolah yang didirikan ibu saya, jadi saya garis bawahi ini sekolah follow the child aja mungkin ya. Karena ibu sendiri bikin sekolah sebab di tempat kami belum ada sekolah jarak dekat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah.. Terimakasih sudah mampir baca.. Semangat terus ya.. Tidak ada ilmu atau metoda yang paling benar atau salah, semua bergantung pada individunya untuk mengatur ilmu dan metoda tersebut untuk digunakan, diadaptasi dan disesuaikan dengan kebutuhan :)

      Hapus